Saturday, July 21, 2012

Somnium et Mulier (Dream and Her)



“Don’t ever say that I never try, I trying hard to work it out,
I still didn’t understand when you come to take my hand,
If you got something to say, better to say it to me now...”

Seminggu berlalu begitu cepat hingga tak terasa aku telah terbebas untuk sementara dari jejaring mimpi dan kenyataan, yang aku pikirkan hanyalah apa yang terjadi dalam seminggu itu, seminggu dengan dia. Seminggu sebelum bertemu dengannya aku merasa bahwa hidup ini hanya ada aku dan mimpiku, kenyataan hanyalah kesempatan untuk membuktikan keberadaanku pada sekitar, yaitu keluarga. Satu hal yang tak pernah kurasakan seminggu sebelum bertemu dengannya adalah rasa dibutuhkan, siapa pun aku rasa akan melupakan apa yang menjadi keharusan jika ternyata apa yang anda cari adalah kebutuhan, kebutuhan yang dapat menghasilkan ribuan senyuman dan rasa bahagia, kebutuhan yang membuat anda ingin agar tiap momen yang terjadi dapat terekam jelas dalam ingatan. Namun, seminggu setelah kepergian dia, semuanya luluh lantak layaknya seperti bangunan istana megah yang seketika melumer dan mencair seperti es krim, keindahannya dan kemegahannya pun belum sempat dinikmati dengan sepuas hati lantas hilang begitu saja.

Pikiran datang mengganggu, mimpi yang telah kubangun dari 7 tahun yang lalu tiba tiba terlupakan begitu saja, serasa aku telah berselingkuh dan mencampakkan mimpiku. Pikiran pun berkata

“Apa kau sudah tak mau lagi mengejar dan membuktikan pada kenyataan akan mimpi mimpimu itu anak muda? Mimpi yang tadinya hanya berupa benang kusut tak berguna, hingga kau sulam menjadi sebuah pakaian yang layak dan enak untuk dipakai. Mimpi yang tadinya hanya berupa sebongkah tanah liat tak terurus, hingga kau sulap menjadi sebuah patung yang bagus dan mempesona orang yang melihat. Kemanakah rencanamu untuk mengukir tiap hari langkahmu diatas karya?”

Bisikan itu terus menghantui, membuat bayangan yang semula kabur hingga tampak menjadi semakin nyata, semuanya terjadi semenjak seminggu aku bersama dengan dia. Aku bingung ketika hatiku pun ikut ambil bagian dalam perkelahian antara aku dan pikiranku. Hati dengan kalemnya berkata

“Kau sekarang tengah dilema, kau harus memilih antara satu, memilih dia atau mimpimu”

Aku duduk melamun, membayangkan ketika keduanya dapat kupertemukan, mempertemukan dan kalau bisa mengakrabkan dia dan mimpiku. Membuatkan mereka berdua ada diantara hati dan pikiranku. Namun ketika pikiran tahu akan rencanaku ini maka dia pun menasehati dengan bijak

“Anak muda, kau masih muda dan jalan yang hendak kau tempuh masih panjang dan berliku, kau nanti akan sesekali terjatuh dan bahkan mungkin akan merasa begitu senang hingga kau merasa dapat menyentuh awan. Tapi ingatlah, kedua hal yang tengah kau rencanakan untuk dipertemukan akan begitu sulit untuk dipersatukan, apalagi membuat keduanya berjalan bersama dibawah kendaliku sebagai pikiranmu dan dibawah kendali perasaan sebagai perasaanmu. Namun yakinlah dengan mimpimu, karena mimpimu takkan pernah mengecewakanmu. Dan bagaimana dengan dengan dia? Apa dia takkan mengecewakanmu suatu saat nanti? Dan jika sampai dia mengecewakanmu maka tak hanya aku sebagai pikiranmu yang kesusahan, sedangkan perasaanmu yang sangat sensitif itu pun akan menjadi gila, dan yang paling penting dari semua dalam hidupmu adalah mimpimu, mimpimu akan hancur lebur menjadi debu. Pikirkanlah anak muda!”

Aku tak pernah tahu akan cinta seperti layaknya orang kebanyakan yang begitu mudah mengungkapkannya dengan kata kata dan tindakan, aku hanya merasa bahwa kebahagiaan itu melebihi segalanya. Karena satu hal yang manusia cari di dunia ini hanyalah kebahagiaan, membahagiakan keluarga, sahabat, teman, dan bahkan orang yang tak dikenal yang ada disekitar manusia tersebut. Aku dan dia, dia yang selalu membuatku bahagia walau hanya seminggu bersamanya, dan setelah seminggu berlalu semenjak aku tak bersama dia lagi, ada kekosongan yang melenakan, membuatku merasa ingin menjauh dari kenyataan, ingin menjauh dari tindak-tanduk pikiranku yang susah untuk dikendalikan, ingin menjauh dari perasaanku yang selalu saja terlalu sensitif dalam menanggapi berbagai macam hal. Aku hanya ingin berdua dengan mimpiku saat dia telah jauh.

Ada ketakutan waktu aku bersama dengan dia, ketakutan akan kehilangan mimpiku. Berbagai rencana kuperbuat dengan begitu bodohnya hanya agar dia bisa menjauhiku, namun ternyata yang kudapat lebih dari itu, dia pun membenciku seperti benci siang pada malam yang tak pernah ingin bertemu.

Tapi mimpiku takkan pernah meninggalkanku.
Untuk Retno
JNM, 20 Juli 2012, 14:55

No comments: