Friday, December 23, 2011

Topeng Monyet

Lihatlah mereka yang sedang mengamatiku dengan pandangan takjub dan penuh keheranan, mereka seolah melihat pemandangan ganjil yang sedang berlangsung di depan mata mereka, tanpa perlu pungutan biaya terlebih dahulu selayaknya pertunjukan sirkus yang memerlukan bayaran tiket masuk. Lihat lirikan mata mereka, amati tingkah laku mereka yang tak sedikit pun memalingkan mata mereka dari apa yang sedang aku lakukan, padahal aku hanya sedang mengamati kata per kata yang tersusun rapi di dalam buku ini. Kata kata ini mengajakku dengan paksa untuk mengarungi lautan luas ilmu pengetahuan hingga tak sadarkan diri, mungkin tak berlebihan jika aku menyamakannya dengan pecandu ganja yang sedang fly, atau mungkin seperti seorang petapa yang sedang entrance.

Kata kata itu mengerubung membentuk sebuah kapal pesiar besar yang tengah mengarungi samudera, dan aku lagi lagi dipaksa untuk menjadi nahkoda tanpa seorang pun awak kapal, aku mengarungi samudera tanpa batas seorang diri. Aku tak peduli pada sekitar, pandanganku dikaburkan oleh indahnya biru lautan yang memantulkan biru dari langit, awan awan seolah tengah berenang di lautan, kicau burung layang sesekali lewat dan melintas diatas kapalku, membuyarkan semua hal tentang dunia nyataku, aku tak ingin pulang ke kenyataan, biarkan aku disini selamanya.

Mereka masih menatapku dengan keanehan yang tak perlu mereka tutupi, mereka seolah sedang menonton pertunjukan topeng monyet, dimana aku menjadi pawang beserta monyetnya dalam satu pertunjukan. Mereka berbisik satu sama lain tentang lelucon yang kiranya bisa membuatku mengamuk dan mengalihkan pandanganku beserta pikiranku pada mereka, mereka ingin agar aku meninggalkan dunia kata kata yang tengah aku arungi dengan kapal pesiar imajinasiku. Biarkan mereka menjadi tolol dengan mata mereka sendiri, mereka hanyut dengan kebohongan yang mata mereka sendiri berikan, mereka hanya memiliki mata tanpa pikiran dan perasaan. Satu pertanyaan untuk mereka yang tak aku inginkan jawaban, apakah menyenangkan melakukan apa yang anda rasa mendatangkan kesenangan?

Kantin kampus, 23 December 2011, 18:05

Tuesday, December 13, 2011

The Way Getting Lost

It was long way to get back home,
Sittin here like adolescent foolish fella,
See, try to be fine and hope get satisfaction,
There probably crowded with many people,
Scream aloud to my noisy ears,
Rollin around like unthinkable piglet,
Well, I have no more thing,
well, I have no more feeling,
Well, I have never thinking,
Life to fast,
Faster than roller coaster,
And,
I dont know that my babe waiting alone...

Wednesday, November 02, 2011

Wanita yang Mencintai Hujan

Sayalah wanita yang diceritakan dalam cerita ini, sebuah cerita yang sebenarnya saya sendiri tak tahu mengapa si penulis menceritakan saya di dalamnya. Namun memang benar kalau saya ini mencitai hujan, entah dimana dan bagaimana si penulis tahu hal itu. Saya mencintai hujan sama halnya seperti pohon mencintai dedaunan atau seperti laut mencintai ombak. Mungkin sebagian orang bilang kalau saya ini aneh atau apalah, tapi bukannya mencintai sesuatu atau seseorang kadang terkesan aneh?

Cerita ini di mulai ketika saya yang sebenarnya ada diantara kebohongan atau cuma sekedar khayalan si penulis atau mungkin karena benar benar ada namun jauh dari jangkauan, maksud saya si penulis terinspirasi dari seseorang yang bukan siapa siapanya, kenal pun tidak, namun karena tulisan atau kesan dari si wanita (mungkin saya sendiri atau mungkin bukan tak tahulah) dimana ketika menceritakan tentang hujan beserta bulir per bulir yang jatuh dari langit membasahi bumi dengan penuh kelembutan dan kasih sayang membuat si penulis terkesima hingga jadilah cerita ini. Memang sulit untuk mengajak si penulis berdialog atau bercerita tentang siapakah wanita yang mencintai hujan ini sebenarnya, namanya siapa, tinggalnya dimana, dan apa alasan logis hingga wanita ini mencitai hujan sedemikian rupa.

Mendung sore mulai datang, seperti biasa di musim hujan biasanya datang pada sore hari, ketika burung burung dara pulang kekandang, petani di sawah sudah pulang ke rumah, dan para manusia yang berkeliaran di jalan dan di pasar pasar pergi berteduh dari siraman hujan yang sebenarnya sudah diketahui akan datang tiap sore hari, sekarang kan musim hujan. Mulailah wanita ini mencari tempat sepi yang tak ada satupun orang yang ada disana, walau hujan menghalang namun langkah penuh senyum wanita ini tetap saja tak berhenti walau selangkah. Sebenarnya bisa saja wanita ini mengurung diri sendiri dalam kamar untuk menikmati saat penuh harmoni kisah antara wanita ini dengan si hujan, namun itu tak dilakukannya, dia tak ingin menikmati saat saat bersama (walau dengan hujan dan bukan dengan seseorang). Perlahan hujan menetes pelan, seolah tengah mendengar aba aba dari komandan yang mengatur baris berbaris armada hujan, kloter pertama pun turun dengan rintik per rintik.

Sebelum kloter kedua turun yang dimana biasanya berseturut dengan adanya kilat menyambar dan seperdetik kemudian guntur pun ikut mengumandang, hujan pun turun seperti serangan membabi buta bangsa Anglo Saxon ketika menyerang benteng pertahanan William si Penakluk yang waktu ini hendak menguasai daratan Britania. Wanita ini sudah mendapatkan tempat berteduh dan dimulailah cerita mereka berdua, cerita tentang tukar cerita antara manusia dan hujan. Bukan cerita tentang curahan hati yang tengah dirundung duka atau tangisan keluh kesah karena bosan dan jenuh menghadapi hidup yang begitu begitu saja. Cerita mereka, maksud saya cerita tentang wanita pecinta hujan dengan hujan itu sendiri berupa kisah cinta yang diharapkan suatu saat salah satu dari rintik hujan akan menjadi seorang pangeran layaknya cerita Putri Tidur yang menunggu pangeran tampan yang datang mengecup pipinya dan kemudian terbangun dan menjalani hidup bersama pangeran dengan penuh kebahagiaan hingga akhir hayat. Ini cerita memang tak jauh dari sekedar dongengan belaka jika anda yang membaca tak percaya pada mimpi dan cita cita. Semua manusia itu diciptakan memiliki daya khayal atau imajinasi yang luar biasa luasnya, juga kemampuan mewujudkan mimpi dan cita cita dan si penulis atau pun si wanita ini tahu kalau hanya Sang Pencipta yang tahu batasnya, dan manusia tentunya dengan kehendak Sang Pencipta pun bisa mewujudkan daya khayal yang sebelumnya hanya berupa angan namun menjadi kenyataan, siapa yang tahu kehendak Sang Pencipta?

Hujan menebar siraman penuh kasihnya kesegala penjuru arah, kemana mata memandang hanya ada genangan air dan segala macam hal yang basah, terkena basah oleh zat pembawa kehidupan bernama hujan. Wanita ini jika dilihat sesaat nampak sedang melamun, tatapannya tak berpaling dari memandang hujan, semakin deras hujan turun dan menggedor genteng maka semakin hanyut wanita ini dalam cerita yang hanya mereka berdua tahu dan rasakan. Mata wanita ini terpaku pada jatuh hujan yang teratur, sebentar dalam hati wanita ini bertanya “apa ini tanda bahwa hidup manusia memang telah ada yang mengatur?”, ada yang jatuh pada dedaunan diranting pohon, ada yang menerpa kaca tepat dimana wanita ini sedang bercengkrama dalam diam dengan hujan, ada pula yang menghujam jatuh ke tanah dan berbaur dengan genangan air yang telah terbentuk di seluruh halaman warung cokelat tempat wanita ini duduk dan melamun, maksud saya melamun jika menurut pandangan orang lain yang melihat apa yang sedang dilakukan oleh wanita ini. “Lantas jika ada yang mengatur mengapa masih saja ada yang jatuh di tempat lain, mengapa hujan ini tak jatuh hanya di genteng saja atau mengapa jatuhnya sekalian langsung ke tiap genangan air yang ada di halam saja, ah atau mungkin hujan jatuh memang ada yang mengatur, sama seperti manusia ada yang mengatur kelahiran, kadang lahir, kadang pula tak jadi lahir, namun setelah hujan diatur agar turun jatuh ke bumi, setelah itu hujan menentukan lewat pilihan hendak jatuh dimana. Sama seperti manusia ketika telah lahir ke bumi, dan belajar lewat pendidikan, lingkungan dan orang tua kemudian mereka lepas ke kehidupan sendiri dan menentukan takdir mereka sendiri hendak menjadi apa nantinya…”.

Hujan semakin deras saja menerpa, tatapan si wanita ini masih saja terpaku mengamati dengan takjub rintik per rintik hujan yang jatuh berbarengan ke bumi, walau memang tak tampak lewat pandangan mata orang yang melihat wanita ini, toh ini cerita bukan tentang orang yang melihat wanita ini, tapi cerita tentang wanita ini yang mencintai hujan.

Ada cerita yang telah lama berlalu, mungkin hampir setahun yang lalu, ketika wanita ini sempat memutuskan memilih untuk membagi rasa cintanya pada hujan kepada seorang lelaki yang secara tidak langsung dia senangi karena lelaki ini mengingatkan dia pada pemeran utama pria dalam filem favoritnya yakni “Before Sunset” dan “Before Sunrise”, dimana singkat cerita didalam filem tersebut menceritakan tentang seorang lelaki dan wanita yang sama sama tidak saling kenal dan baru bertemu namun sudah saling terpikat dikarenakan satu hal yang mereka sukai satu sama lain yakni bercerita, jadi untuk orang yang membaca tulisan ini namun tidak senang menonton filem yang isinya hanya dialog atau ceritaan maka diharapkan tidak usah menonton file mini karena pasti terasa mengantukkan. Kembali ke cerita wanita pecinta hujan, wanita ini menyukai hampir tiap ceritaan dari si lelaki, dan lelaki ini pun juga merespon dengan menyukai ceritaan dari wanita ini, namun saya sebagai penulis dan mungkin beberapa dari kalian yang membaca tulisan ini akan merasa bahwa begitu gampangnya wanita ini di bodohi oleh bualan dari lelaki dimana lelaki kan memang senangnya membodohi wanita dengan kebohongan dan anehnya wanita juga ternyata senang dibodohi dengan kebohongan. Dan selang ketika wanita pecinta hujan ini memutuskan untuk mengakhiri cerita ‘cinta’ mereka, dari situ wanita ini kemudian dengan berat hati menerima bahwa memang benar jika lelaki itu hebat dalam berbohong dan wanita juga tak kalah hebat gampang dibohongi.

Harap para pembaca tidak membawa ke hati segala macam hal yang menyangkut masalah pribadi para pembaca yang dengan sembrono telah diceritakan oleh si penulis didalam cerita mengenai wanita pecinta hujan ini, maksud saya sebagai penulis meminta maaf kalau anda yang membaca adalah wanita bukan berarti gampang di bodohi lelaki lewat kebohongan, begitu juga dengan lelaki yang membaca tulisan ini jangan sangka bahwa saya memvonis bahwa anda juga pembohong sama halnya seperti lelaki yang sempat mengarungi bahtera ‘cinta’ sesaat dengan lelaki yang diceritakan di cerita ini. Ini hanya cerita tentang wanita yang mencitai hujan dengan hujan itu sendiri yang ditulis oleh saya yang bukan siapa siapanya hujan atau wanita si pecinta hujan.

Bagian I cerita wanita pecinta hujan selesai…

Kantin Kampus, 1 November 2011, 17:13

Monday, October 31, 2011

Nyanyian Sunyi Pecinta Hujan



Selalu kenangan yang menjadi pembuka cerita,
Membawa serta ingatan dan senyuman menuju kesana,
Tertegun pandangan meniti tiap rintik hujan,
Seiring kata ke kata menutur lembut ceritaan…

Kemana pergi canda tawa pengisi kekosongan itu,
Menyisa isak tangis yang kini jadi kawan pengusir cemburu,
Tarian dedaunan kering jatuh berguguran,
Kilat menyambar, Guntur menggemuruh, hati pun bernyanyi tentang kesunyian…

Selalu penyesalan muncul menjadi akibat yang tak diharapkan,
Mengapa tindakan dahulu tak terkira akan membawa kegagalan,
Tertegun pandangan menyimak hujan jatuh dan kapan akan berakhir,
Seiring ingatan tentang dia yang selalu datang ketika hujan mampir…

Mereka berkata apa selalu akan ada cerita tentang cinta?
Mungkin akan berakhir ketika lembar kehidupan baru hendak dibuka,
Akan kah kerinduan nantinya membawa kebahagiaan?
Ah kalian berhentilah berharap, ada ribuan rupa dari kebahagiaan…

Langit biru kelabu berubah,
Setitik cerah dari mentari muncul dari segalah arah,
Hujan berhenti menemani kesunyian,
Sejenak akhir dari nyanyian sunyi pecinta hujan…


Teras Kos, 31 October 2011, 14:07

Wednesday, September 14, 2011

Epos Indie Psychedelia

Mencoba mendaki gunung yang tinggi,

Berteriak yang lancang pada para hyang,

Mengharap bahwa mereka nanti kan didengar,

Setelah semua tak ada hasil,

Burung burung berhenti berkicau,

Pepohonan tadus tak terurus,

Hingga berpasra diri berkata,

Semua ini tak pernah ada,

Tak lebih dari imaji konak seorang pemimpi...


Lalu lalang pemanja jalan,

Hingar bingar mereka menerka,

Di jalan setapak mereka bersandar,

Menunggu uluran tangan mereka,

Tak bisa lagi kaki berjalan katanya,

Mulut telah terkunci dan hilang fungsi,

Tak ada kokok ayam di pagi hari,

Tak ada gongong anjing mencari kawan,

Dan semua lelap tak lagi bangun,

Menunggu ajal yang tak tahu kapan akan datang...


Mereka berkata hal yang tak dapat dimengerti,

Mereka merasa mereka layak didengar,

Seolah memaksa agar mereka di benarkan,

Angguk perangguk di beri agar mereka puas,

Nanti ketika selesai waktunya mereka diam,

Semua diam biar alam yang berbijak tindak,

Laut berbisik menghambar rasa,

Tak ada kata dan anggukan,

Lelah dan tertidur,

Tak lagi bangun karena telah mati,

Semua sudah berakhir karena mimpi telah mati...



Makassar, 14 September 2011

Thursday, August 25, 2011

Tanggal dan Umur Dua Puluh Tiga

Salah satu yang saya percaya hingga kini yakni manusia yang hidup dan merasakan kebahagiaan sepanjang hari harinya adalah manusia yang selalu mempercayai pada mimpi mimpi dan cita citanya, dan tentu saja itu benar adanya, namun semua itu akan kembali ke kenyataan lagi, kembali pada kebanyakan orang orang bilang kehidupan normal. Manusia yang bahagia atau manusia yang beruntung adalah manusia yang mati pada usia muda. Setidaknya itu perkataan orang orang yang tengah hidup dan menjalani mimpi dan cita citanya, dan akhirnya kehidupan seseorang tak ada yang tahu kapan akan berakhir, kehidupan manusia sudah ada yang mengatur itu sudah pasti. Manusia yang hidup hingga tua menjelang, akan merasakan lebih sedikit kebahagiaan dan banyak dihinggapi rasa sendiri dan kesepian, dimulai dari ditinggalkan oleh banyak orang dia cintai, orang tua, keluarga, kawan, dan lain sebagainya, rasa kesepian dan sendiri datang ketika kita ditinggali orang yang mencintai kita dan kita mencintai mereka, tanpa alasan dan tanpa pandang bulu.

Inilah cita citaku hendak membuat hidup yang bahagia, dimana kebahagiaanku juga dapat dirasakan sebagai sebuah kebahagiaan oleh orang orang yang ada disekitarku, walau kadang terlalu banyak yang menganggap bahwa jalanku sudah terlalu melenceng, jalanku terlalu berliku liku, hal yang setidaknya dapat dipermuda justru kupersulit. Menurutku justru karena banyaknya alasan hingga setiap tindakan yang kuperbuat terkesan dipersulit, salah satunya adalah aku ingin melakukan segala sesuatu dengan caraku sendiri, mencintai dengan caraku, dan memperhatikan dunia dengan caraku. Buku adalah jendela untuk melihat bahwa dunia ternyata begitu luas, belum lagi jika kita coba mengintip angkasa luar.

Cintaku telah pergi, cinta yang hendak aku pertahankan hingga jelang tutup usia, cinta yang aku inginkan akan tetap ada walau apa pun yang akan terjadi nantinya, semua aku jalani dengan caraku, maafkan aku sayang aku tak bermaksud untuk membuatmu kecewa dan terluka dengan caraku yang sangat berbeda dengan orang kebanyakan, orang kebanyakan seperti yang telah kau lihat di televise, di reality show, cerita cinta kawanmu, cerita cinta dalam roman pisician, atau cerita cinta dimana pun itu. Bukan maksudku untuk menjauh darimu waktu itu, sangat berat dan sakit hati ini jika mengingat masa itu, ketika kutanyakan padamu bahwa sepertinya sudah waktunya kita untuk berpisah, kita sudah terlalu berbeda dalam segala macam hal, kau suka melakukan hal yang menurutku sangat membosankan, dan aku melakukan banyak hal yang menurutmu terlalu sukar untuk dipahami.

Sungguh waktu itu aku hanya ingin bermaksud untuk menunjukkan bahwa aku ini akan berusaha tetap setiap padamu, tetap setia pada satu pasangan hingga ajal datang menjemput, menemaniku disaat tua yang penuh dengan rasa kesepian, saling menerima keriput dan kejelekan kejelekan yang semakin banyak hingga di raga dan pikiran kita. Aku menanyakan padamu bahwa kita berakhir, dan bukan tanggapan diam dan menangis yang aku harapkan, bukan pula rasa benci yang berkecamuk yang datang darimu tiba tiba, kau membenci semua tentangku waktu aku mengatakan itu, kau hendak menjauh dan bahkan melupan semua tentangku dalam kehidupanmu, sungguh perih hati ini ketika mendapatkan itu semua. Yang kuharapkan justru tanggapan positif dan dewasa darimu, yang kuharap hanya sedikit pertanyaan yang dapat membuat hubungan kita tetap berlanjut. Kita butuh keseriusan, kita terlalu jauh melangkah tanpa memikirkan sedikitpun tentang keberadaan diri kita masing masing, kita terlalu egois, kita butuh sedikit waktu untuk berpikir, bukan waktu untuk saling menjauh hingga kini untuk mencium bau parfum vanilla tubuhmu pun ku tak bisa karena setiap kita bertemu kau menjauh.

Apa kau tahu jika menjadikan seseorang pasangan hidup itu bukan untuk sementara? Tetapi untuk selamanya, ketika ada anak, cucu, hingga cicit yang nantinya lahir dari keturunan kita. Kita belum dewasa sayang. Yang kita butuhkan hanya cinta dan pengertian, saling mengerti apapun yang dilakukan oleh pasangan kita, saling mengetahui tanpa harus bertukar kata, diam penuh pendengaran, diam dengan anggukan yang dapat mengugah perasaan kita hingga tak sadar senyuman pun terpancar.

Sudah tua aku kini, dan tetap kau yang ada disini, disini didalam pikiranku, tak dapat keluar dan terus berlari tanpa arah dan tujuan, semua tentangmu telah terekam dalam pikiran, caramu tertawa, menangis, sedih, senyum, marah, bahkan ekspressimu dikala tidur pun terekam erat dalam pikiran ini. Baikalah, mungkin kau butuh waktu untuk itu semua, semuanya juga sudah berakhir, maksudku hubungan kita, namun jika kita memang ditakdirkan untuk bersama suatu saat nanti, ingat ini aku sayang kamu.

Aku terkadang bingung ketika ada seseorang yang bertanya padaku apa tak ada lagi wanita didunia ini selain dia? Dan aku jawab dengan serius tidak ada selain dia, dia saja, mungkin terlalu berlebihan tapi aku suka dia.

Entahlah, apa aku sedang hidup di dunia imajinasi yang terlahir dari mimpi dan cita citaku ketika bertemu dan merasakan kehadiran dirimu disini, di pikiran dan perasaanku. Atau mungkin aku butuhkan seseorang untuk mengembalikanku ke dunia nyata, memberikanku sediki ruang dalam hidupnya, jika memang benar bahwa jodoh satu manusia di dunia ada tujuh orang, jika memang benar jika cinta itu datang ketika kau tak memikirkan cinta, jika memang benar bahwa setelah satu orang terkasih pergi maka akan datang seorang terkasih lain. Aku tak tahu.

Untuk Bela Diyna

Tana Toraja, August 22, 2011, 22:11

Friday, August 19, 2011

Ketika Pikiran Saya Pergi

Baiklah pikiranku kau mau pergi kemana pun saya akan setuju, tapi ingat kembali lagi suatu saat nanti, paling tidak nanti pagi kalau saya sudah bangun dan sadar lagi, namun temani perasaan saya lagi, perasaan saya tak mampu menindakin segala sesuatu dengan satu hal yang penting dari tubuh seorang manusia yakni perasaan saja, kamu tahu bahwa raga atau tubuh manusia terdiri dari pikiran dan perasaan. Tanpa salah satunya manusia hanya sebongkah tubuh yang bergerak namun tak punya tindakan yang mirip manusia, atau lebih mirip dengan binatang.

Oh pikiran sayang datanglah, kembalikan saya ke dunia nyata, kembalikan semuanya nampak normal dan tampak biasa biasa saja, tak mampu raga ini berjalan tanpa arah dan tujuan yang pasti dan pula perasaan ini tak mampu melakukan hal yang mungkin sebagian besar manusia mengatakan hal benar namun raga ini segan melakukannya. Baiklahlah jika itu pilihanmu meninggalkan aku, ragaku dan perasaanku disini sendiri.

Disini gemericik debu seakan terasa menggetar batin, tanpa kau disini semua menjadi sehambar semangkuk sayuran tanpa garam sewaktu dimasak, tanpa kau disini semua menjadi seperti hari yang cerah namun tak ada hembusan angin dari timur yang menghembus, ah kau pikiran tak hanya sensitif menghadapi berbagai macam hal yang terjadi, kau pun terlalu lama memendam segala macam hal yang terjadi padamu, hingga membedakan antara positif dan negarif pun kau tak mampu, membedakan antara pesimis dan positif pun tak mampu.

Sudah lewat masa dimana Charles Darwin berbohong tentang evolusi manusia, sudah lewat pun Karl Marx bercerita tentang sosialisme, komunisme dan kapitalisme. Apa kau ingat Jacques Manuel Derrida dengan bangga mengatakan bahwa kebenaran sejati tak ada? Apa kau ingat perkataan Rene Descartez kalau manusia tanpa pikiran berarti kematian? Apa kau ingat Socrates bapak badut internasional yang selalu saja mengatakan bahwa dia tak tahu apa apa padahal dia itu salah satu bapak filosofi modern? Memang hidup ini begitu aneh, sudah tercerita oleh Albert Camus lewat pemberontakannya menindaki kenormalan hidup orang kebanyakan, orang umum yang bertindak tak ubahnya seperti robot, bertindak tanpa pikir dan rasa, bertindak hanya lewat insting mereka yang telah terprogram.

Saya hanya ingin tahu jika kau hendak aku lepas, kemana hendaknya kau pergi? Ke Neraka atau Surga yang tak lebih dari imajinasi konak manusia? Atau ke Nirwana untuk hendak melakukan reinkarnasi seperti para dewa dewa? Atau kau hanya membusuk dalam alam tanpa batas? Entahlah, makanya saya menanyakan.

Jika nanti sudah tiba waktuku, maka aku hanya kau datang kesini, menemaniku hingga ajal nanti datang menculik roh dari ragaku.

Memang ini hanya fiktif belaka.

Tuesday, July 12, 2011

Sandiwara

Ditengah hirup pikuk kota yang tak pernah merasa lelah ini, deru ban kendaraan berpacu dan bergumul menjadi satu dengan aspal, desah mesin menyatu dengan berbagai macam bunyi, kesemuanya bermuara pada satu hal, yaitu tanda kehidupan. Ketika pertanyaan ada jawaban, ketika diskusi ada ilmu baru yang akan didapat, ketika diam membisu hanya akan ada beban, yaitu pertanyaan yang kian lama kian susah dan tambah hebat, dan lahirlah kebodohan.

Aku dan kawanku sedang ada ditengah ini semua, dan kami tak bisa mengelak, kami nikmati saja semuanya, ada pertanyaan kita cari jawaban, karena sesungguhnya tak ada jawaban dari pertanyaan yang benar benar betul atau betul betul benar, dan tak ada yang benar benar salah. Hanya waktu yang pasti, dan yang paling pasti dari waktu adalah kematian.

Mentari masih lama kan menjelang, hangat mentari siang tadi juga masih ada disekitar, cahaya rembulan sebentar lagi pas berada diatas kepala, hujan tak datang bertandang hari ini, bintang bintang pun entah pada lari kemana, sepi langit tanpa bintang, kawanku sudah tak tahan dari tadi menahan cerita, dan muntahlah kata kata itu dari mulutnya seperti gasing yang sedang berputar.

“yang namanya panggung teater yah kerjaannya musti bersandiwara lah, nanti kalau sandiwarannya tak mampu dinikmati penonton yah bukan teateran namanya. Tapi ngomong ngomong sebenarnya dunia nyata ini mirip panggung sandiwara loh, contohnya orang orang pada pandai menggunakan peran yang seolah sedang bermain diatas panggung, padahal keadaan mereka sedang berada di pasar, merekanya saja yang tak sadar kalau mereka berakting seperti halnya para pemain sandiwara atau teater berakting…” ungkap dari kawan saya yang begitu kritis menanggapi hal hal kecil yang terjadi disekitar kita, mau sedang menonton teater kek, atau sedang berada dimana pun kapan pun selalu saja dia menanyakan hal hal semacam; apa, dimana, kenapa, bagaimana, dan untuk apa. Saya sebagai seorang kawan yang merasa cukup baik, selalu meladeni dia dengan tanggapan yang tak kala kritis yang diselingi logika.

“iya iya, saya mengerti kawan, sekarang pun saya dan anda ini sedang bermain teater kok, sayangnya tak ada penonton, dimana peran penonton yang selalu ada kala pementasan teater berlangsung, kalau tak ada penontonnya yah sama saja kayak sedang mengobrol biasa, kayak di pasar itu…”

“ah, bukan itu maksud saya. Dunia panggung dan dunia nyata itu sama saja kawan, mau lihat penontonnya? Sutradaranya? Penata lighting-nya? Atau artistiknya juga?”

“yayaya saya bisa menangkap maksud anda, kita pakai contohnya pasar saja, dimana ada proses tawar menawar harga antara penjual dan pembeli, si pembeli dan penjual menjadi aktor, dan orang orang lain yang berada dipasar itu menjadi penonton , bahkan kita pun bisa menjadikan para pemainnya disamping jadi aktor juga menjadi penonton. Sutradaranya, yah sama halnya dengan panggung teater sutradaranya tak terlihat, dan sutradaranya itulah yang kita sebut Tuhan. Sedangkan untuk penata lightingnya, disamping Tuhan juga yang memberikan instruksi lewat matahari jika itu siang hari atau lewat bulan dan bintang bintang jika itu malam hari, atau bahkan yang memasang lampu dipasar juga menjadi penata lighting lewat arahan kasat mata dari Tuhan. Dan tim artistik panggungnya pun sama halnya seperti penata lighting, lewat perantara sutradara yang sama sama kita sebut Tuhan…”

“benar kawan, anda memang orang yang selalu sehati dan seotak dengan saya dalam pembahasan apa saja, sama halnya dengan pembahasan mengenai sandiwara ini. Tapi saya ingin mengetahui jawaban anda lewat pertanyaan saya ini, lantas bagaimana menurut anda dengan sandiwara yang terjadi di panggung atau pun di kejadian nyata, apa tiap gerakan dan tutur kata mereka itu memiliki makna? Dan bagaimana caranya untuk mengerti makna tersebut? Masalahnya sampai saat ini, saya dan mungkin anda juga pasti sering mendapatkan kendala satu ini, meneliti tiap gerakan dan tutur kata kata mereka yang sedang bermain, bagaimana?”

“haha pertanyaan anda sangat sangat berat! Anda coba menanyakan atau coba melogikakan tiap gerak dari para aktor yang tengah bersandiwara yah! Mungkin kalau ditiap gerakan diatas panggung saya bisa tapi mungkin hanya sedikit, itu pun jangan sekali kali anda kira saya ini sudah jagoan, saya ini cuma dapat dari banyak baca saja, dan itu pun baru sangat sedikit. Tapi sangat beda halnya kalau sandiwara di dunia nyata, itu sama halnya dengan mencoba menganalisa tindak tanduk Tuhan pada manusianya! Hahaha, kehendak Tuhan itu sangat sungar dimengerti kawan, cukup dipercayai saja. Di Buddhisme ada dikenal Yin Yang, atau keseimbangan antar apa yang dilakukan dan apa yang akan didapatkan, contoh sederhananya orang melakukan hal baik akan mendapatkan hal baik juga, melakukan hal buruk akan dapat hal buruk juga yang sama. Di Islam ada Qada’ dan Qadar, sebenarnya maksudnya sama saja dengan Yin Yang, tapi karena memang anehnya kenapa tiap agama selalu saja ada perbedaan dalam penyebutan dan kemudian lama kelamaan di buat seolah tak ada samanya sama sekali, padahal sama saja artinya, makanya saya tak mempercayai satu agama pun, percaya sama Tuhan saja sudah cukup.”

“sudahlah jangan singgung tentang agama, kita bahas tentang sandiwara saja, semua agama di dunia memang sangat aneh dan malah kadang tak masuk akal. Sudah cukup menarik, silahkan dilanjutkan…”

“oke oke, jadi ketika bersandiwara di atas panggung, maka kita pertama tama mengerti judul pementasannya, karena semua gerak akan berpusar pada judul pementasan, walau kadang kala seperti layang layang sih, yaitu kadang diulur hingga jauh ke atas langit dan kemudian di tarik lagi, cerita di dunia sandiwara selalu saja terlalu sastra, mengapa? Yah tentu saja karena basic dari bahasa lakon sandiwara adalah bahasa sastra. Dan mungkin juga penguatan cerita lewat lighting dan artistik akan begitu mendukung terjadinya sebuah cerita dengan tujuan menarik minat para penonton agar tak berpaling sedikit pun dari panggung, dan ini kayaknya yang paling susah dilakukan, jadi kadang lightingnya kurang mumpuni untuk menggambarkan sinar matahari, atau pun ke realistisan artistik panggung yang kurang memadai hingga kesan cerita tentang sandiwara pun kurang terasa nikmat dinikmati. Tapi yang namanya panggung sandiwara harus diberikan apresiasi buat semua penonton, mengapa? Yah karena mereka coba menggambarkan ulang adegan yang sebelumnya hanya Tuhan saja yang melakukannya. Luar biasa kan sandiwara itu!”

“ya mengerti, jadi anda memang seorang yang teliti dan super serius untuk memandang segala macam hal, makanya anda mengerti!”

“apa anda memuji saya?” kata saya tegas dengan penekanan tak suka dan ekspresi yang tak mau menerima.

“yah, saya coba untuk memuji anda, apa anda tak suka di puji? Mengapa?”

“cukuplah Tuhan saja yang di puji kawan! Kalau manusia yang di puji pasti akan sombong! Kalau manusia di puji pasti akan bersikap seolah sudah diatas angin, seolah dia itu agung, persetanlah dengan segala pujian, saya tak suka di puji…”

“haha santai lah, inikan cuma pujian dari kawan satu ke kawan lainnya…”

“saya ini bukan apa apa untuk di puji kawan, saya masih banyak hal yang musti dipelajari, kalau sudah dapat pujian duluan dan saya menerimanya maka besar kemungkinan saya akan malas lagi untuk belajar, karena sudah merasa hebat nanti. Haha! Anda kan kawan saya, jadi kalau saya lagi menunjukkan apa yang saya kira saya bisa, maka tak usah di puji, cukup dimengerti saja dengan senyuman, dan saya akan senang sekali! Kita kan kawan!”

“hmmm, anda memang aneh, bodoh, sekaligus jenius! Saya senang jadi kawan anda…”

“kita sekarang ini hanya bersandiwara, sandiwara yang ditulis dan disutradarai langsung oleh Tuhan… mari kita puji Tuhan dengan cara kita masing masing…”

“yah! Mari kita memuji Tuhan”

Cerita belum berakhir, hanya satu cerita dari ribuan cerita yang selesai, dan dua botol terlarang versi berbagai macam agama pun kami angkat untuk chers, dan melanjutkan minum hingga pagi menjelang dengan ditemani asap dan cerita cerita.

Selesai

Yogyakarta, 31 Maret 2011 – 00:33

Wednesday, July 06, 2011

Sepuluh Tahun Setelah Hari Ini


“Cerita ini bukan untuk kalian tapi untuk orang orang yang hidup sepuluh tahun kedepan, bukan untuk kalian yang hidup semasa dengan kehidupanku sekarang ini, kalian yang selalu tak sepandangan denganku dengan beribu macam alasan yang tak selaras, seiya dan sekata denganku, memang kadang kita butuh memegang teguh jalan pikiran kita sendiri, memang kadang kita tak butuh masukan dari orang lain, tapi hidup terus berjalan meningglkan tiap orang yang tak ingin melangkah, tapi hidup itu tak hanya untuk masa ini, dan disamping itu apa yang bisa kau lakukan di masa dimana orang orang mengatakannya sebagai masa muda, maka jangan biarkan rasional dan aturan menjadi batu sandungan masa muda…”

Semuanya sudah nampak berbeda, raut wajah yang dahulu selalu buram kini penuh canda dan tawa. Tak takut lagi kau menatap langit yang dahulu ketika cahaya mentari bersinar menerpa wajahmu maka menggigillah sekujur tubuhmu, entah mengapa waktu itu kau tak mau bercerita tentang ketakutanmu itu. Selang sepuluh tahun kemudian baru kutahu matahari membuatmu buta terhadap hidup yang tak selaras dengan pikiranmu hingga kemotonan hidup mencekikmu dengan laku hidup normal yang dibanggakan orang orang disekitarmu. Engkau bilang waktu itu bahwa mereka yang pergi bekerja ke kantor dengan pakaian serba rapih dan miskin warna, pakaian serba kain, kemeja dan celana berbahan dasar kain, dan tak lupa pencekik leher bernama dasi. Engkau mengasihi mereka, mengatakan bahwa mereka bekerja seolah tak lagi mempunyai pikiran dan perasaan. Padahal kau tak pernah tahu bahwa hidup itu memang tak terlalu membutuhkan pikiran dan perasaan, mengapa? Karena hidup ini bukan hanya untuk dirimu sendiri, pikiran dan perasaanmu itu untuk dirimu sendiri, dan selain itu apa yang ada pada dirimu, meski kau tak ingin memberikannya pada orang lain, tetap saja musti kau berikan, penampilanmu musti setara dengan orang yang ada disekitarmu, untuk apa? Agar orang yang ada disekitarmu tak merasa canggung dan menganggapmu sama saja seperti mereka, kalian bekerja bersama, kalian mencari pengalaman dan materi untuk kehidupan orang yang anda tanggung, seperti anak dan istri atau mungkin keluarga yang ada banggakan.

Rambut panjang sebahu, cambang melingkari menangkup dagu, pakaian serampangan kau pakai tanpa ragu, dan apa lagi cara hidup anda seolah jauh dari kesan tahu malu. Itulah gambaran singkat tentang kau sewaktu masih muda dulu, sewaktu pikiranmu kau tuang dalam tiap lembar tulisan dan karya karyamu. Kau serasa menjauh dari orang orang disekitarmu, tak ada sapa, senyum, dan kesan ramah, sialnya anda juga tak punya kawan. Kau menganggap tahu semua yang akan terjadi waktu itu, memangnya siapa kau? Kau menganggap dirimu Tuhan? Atau mungkin paranormal dan dukun? Lihat dan rasakan apa ada orang yang betah berada disekitarmu? Dan entah apa yang membuatmu berubah sekarang ini menjadi tanda tanya yang sangat besar untuk orang yang mengenalmu, maksudku orang orang yang ada disekitarmu waktu kau muda dahulu. Kini lihat tampangmu yang tak henti mengulum senyum, tiap ada orang yang pernah bertemu sapa denganmu kau sapa dengan sapaan yang tak terkira, malahan kau mengajak mereka untuk sekedar mencecap segelas kopi di kafe terdekat, disana kau bercerita tentang segala macam hal agar orang itu bisa merasa nyaman dan akhirnya nanti memaklumi mengapa kau sangat aneh waktu muda dahulu. Kau mencoba memperkenalkan siapa kau, mencoba untuk meminta maaf secara tak langsung akan kecongkakanmu waktu muda dahulu, kau menyesali semuanya dengan senyuman dan tawa. Aneh memang hidupmu, tapi jika nanti ada orang berakal yang mendengar kisahmu akan mengatakan dan melakukan hal serupa sepertimu, mereka akan mengangguk mengiyakan bahwa hidup memang butuh banyak warna, agar nantinya ada wadah semacam cermin untuk mengulang kembali tiap lembar cerita kehidupan mereka, mengingat pepatah lusuh dan kumal bahwa hidup ini memang butuh banyak pengalaman, karena pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup.

July 4, 2011, Krebet, Bantul

Monday, June 06, 2011

Verba Amini Profere



“lelucon yang membuat hati pedih, yakni mencoba membuktikan bahwa prinsip adalah kemewahan untuk hidup yang hanya sekali”

Kabut disekitar pesisir pantai mengawal imaji menuju entah apa namanya. Mentari belum jua nampak, menanti panas menghangat raga, dingin hembus angin menusuk bagai gigitan ribuan semut. Langit berwarna kelabu, tak ada keramaian kecuali ombak yang tak henti menderu, semu karang seolah berbisik cerita, cerita tentang hati seorang perasa. Malang nian nasibmu anak muda, bisik karang, kenapa pikiranmu tak mampu kau hentikan, yang nampak oleh matamu itu hanya ilusi, tak pernah aka nada jawaban untuk hal yang hanya melintas di bawah kuasa indramu, apalagi hanya mata! Tak hentinya bisikan itu ada dan terus ada, memutar kembali kenangan kemarin malam sebelum hendak menyepi di pinggir pantai. Puluhan burung walet berterbangan dilangit, melintas satu persatu begitu gesit, melawan irama hembus angin kencang, padahal kemarin mereka juga ada waktu petang, entah apa yang mereka lakukan, tak sempat kutanyakan. Aneh!

Ah kalian warga kalangan bawah, terus bekerja saja kalian, tak kenal lelah pula, padahal apa kalian sadar pekerjaan dan gaji kalian itu sangat membodohkan! Bayangkan dalam sehari berapa butir keringat yang kalian cucurkan, dan berapa gaji yang kalian dapatkan? Sebanding apa dengan tanda tangan pak lurah? Lihat di televisi kalian tak ubahnya seperti sepotong roti yang terus di bicarakan kegurihannya, padahal mereka yang mencicipi roti itu tak pernah tahu kalau sebelum jadi roti itu butuh banyak proses, dan proses yang paling tak diperhatikan justru yang paling mengharukan, yah itu tentang kalian hey kalangan bawah, kalian bekerja menanam gandum di ladang yang dulunya gersang, kalian aliri air dengan jeri payah kalian sendiri, kalian menamam beni gandung, mengairi, memupuki, menyiangi, dan kemudian kalian panen hingga berkarung karung, dan berapa yang kalian dapatkan? Sedikit! Dan kalian menerima gaji kalian yang sedikit dengan ribuan puji sukur pada Tuhan kalian, entah apa yang kalian pikirkan! Entah apa jadinya roti jika tak ada kalian! Hey para warga kalangan bawah, petani di ladang gandum yang dulunya gersang. Aneh!

Hidup adalah lelucon untuk orang yang selalu menggunakan pikiran, dan hidup adalah penderitaan untuk orang yang selalu menggunakan perasaan. Dan bagaimana dengan para buruh dan pekerja keras di perkotaan? Apa mereka menggunakan pikiran mereka? Lantas mengapa mereka masih saja bertahan hingga beberapa tahun, bahkan beberapa yang bertahan hingga puluhan tahun, apa pikiran mereka masih bekerja? Saya rasa tak berguna lagi, sudah tumpul pikiran mereka terdesak dengan kantong mereka yang sesak nafas. Bagaimana dengan perasaan mereka? Tak berguna lagi, tak ada lagi yang perlu disesalkan, sesal yang kelak dianggap sebagai sebuah penderitaan, semua berjalan apa adanya, jika yang ada hanya segenggam beras dengan lauk air garam dan kecap mau diapa lagi, mereka pun masih bisa makan diiringi dengan doa pada yang kuasa, pula diakhiri dengan senyum syukur ketika selesai bersantap dengan lahapnya. Kerja keras dengan gaji tak seberapa, untuk beli makan enak dalam sehari saja sudah susah, ditambah dengan kebijakan pemerintah, kebijakan pemerintah! Yang tak memberikan mereka belas kasihan, belas kasihan memberikan tunjangan sekolah gratis pada anak mereka, agar mereka bisa membaca dan menulis! Hey pemerintah sialan! Kemana mata kalian, terlalu berwarna birukah sekarang! Kemana perasaan kalian, terlalu bersikap layaknya pendahulu kalian yang biang korup itukah! Tahi kucing kalian! Aneh!

Barang siapa yang menolong saingannya adalah orang gila, itulah prinsip. Aha bodoh! Mana mungkin manusia dikatakan manusia jika tak memiliki perasaan, dengan perasaan akhirnya manusia tak dikatakan sejenis binatang, dengan perasaan akhirnya manusia tak dikatakan orang gila, maksud saya orang gila yang ada di rumah sakit jiwa. Perasaan manusia mana yang takkan sakit jika disakiti, dicaci maki sedemikian rupa, di perkosa, di injak harga diri dan kebanggaannya, tak dihargai, dan lain sebagainya. Manusia selalu ingin merasakan kebahagiaan dalam hidup, maklum manusia itu takut tak sempat merasakan kebahagian semasa hidupnya, karena ada kematian, karena kematian alasan yang logis untuk menjelaskan bahwa manusia ingin hidup penuh dengan kebahagiaan. Lantas mengapa musti saling menyakiti? Dengan alasan berbeda agama, berbeda uang yang ada dikantong, jabatan, dan berbagai macam tahi bengek lainnya, padahal sama sama manusia, sama sama merasakan sakit jika disakiti! Ah aneh!

Lihat itu di televisi, berapa banyak tangis sedih disana? Semuanya adalah tak lebih dari kesedihan, lantas bagaimana dengan kebahagiaan? Kemana mereka yang berbahagia? Kabur dengan korupsi uang rakyat, tertawa setelah menendang dan menggusur rumah rakyat, tidur lelap karena di rumah mereka banyak pembantu yang sekali berisik di pecat atau bahkan di bunuh, oh malang sekali nasib kalian orang yang tak memiliki harta kekayaan, harta kekayaan dari keturunan sebelum anda. Kasihan sekali hidup kalian yang tanpa perasaan, hidup lewat tenaga dan jerih payah bercampur peluh orang orang yang kalian pekerjakan dengan upah, memang mungkin saja kalian sudah pernah merasakan seperti itu waktu kalian masih melarat, tapi apa kalian sudah tak punya perasaan pada orang yang kalian pekerjakan? Apa anda ingin membalas dendam karena telah diperlakukan seperti itu sewaktu kalian masih melarat? Kasihan sekali hidup anda, tak hanya tanpa perasaan, tapi juga penuh dengan dendam, layaknya Iblis yang dendam pada manusia beragama pertama si Adam hanya karena Tuhan lebih menyayangi manusia yang tercipta paling sempurna dari semua ciptaanNya. Apa tak cukup aneh semua cerita ini.

Burung merpati tanda kesetiaan, mereka mengajar manusia agar bisa setia, setia itu wujud nyata dari perasaan. Pernah dengar cerita mengenai percintaan pertama antara Adam dan Hawa di surga? Maksud saya siapa yang mengajarkan mereka bercinta? Yah tentu saja Tuhan yang mengajarkan, tapi lewat perantara binatang, dan binatang itu anjing, anjing!

Tak cukupkah kita belajar dari binatang hingga kita dengan mudah berperilaku layaknya binatang? Kita ini manusia yang punya pikiran dan perasaan, pikiran dan perasaan, pekerjaan manusia adalah menjadi manusia, gunakan pikiran untuk berpikir tentang jalan dan cara agar kesejahteraan dan kebahagiaan bersama sama bisa dirasakan, sesama manusia. Gunakan perasaan untuk benar benar tanpa pamrih untuk bisa saling merasakan perasaan masing masing, membantu sesama manusia.

JNM Jogja, 6 June 2011, 16:02

Sunday, June 05, 2011

Musim

Dan akhirnya ada yang berulang tahun, tahun kemarin kembali dirayakan dengan perayaan yang sedikit berbeda dan dengan ucapan yang sama, selamat ulang tahun untuk siapa pun yang merayakan, hari kemarin lebih baik dari hari ini, tahun kemarin lebih baik dari tahun ini, semua berjalan seperti tiupan angin dari timur ke barat, bertiup dengan kencang sekencang roller coaster di pasar malam, tak ada yang menghentikan, karena memang kebahagiaan selalu diharapkan. Mentari belum juga bersinar, hari kemarin baru lewat dengan denting jarum jam yang telah leat 24:00, semuanya berteriak kegirangan, entah apa yang mereka maksud, mereka hanya berterriak penuh euforia dengan harapan agar ulang tahun mereka juga di hari mendatang juga dirayakan, dengan kue, dan dengan a[i yang menya;a diatas lilin.

Ah manusia bodoh, apa kalian tahu jikalau bertambah umur maka kematian semakin dekat menjelang? Kalian tak mau tahu, yang kalian cari dalam hidup hanyalah kebahagiaanj, kebahagiaam sesaat yang kan berakhir setelah tiupan lilin berakhir.

Tapi selamat menempuh tahun baru, untuk anda, dan untuk kalian yang merayakan.

Sunday, May 22, 2011

Ini Semua Demi Ego


“Matahari tenggelam, hari sudah malam,

Terdengar burung hantu, suaranya merdu…”

Seroang anak lelaki di hanyutkan disungai berkat pertolongan seorang Ibu yang sayang pada anaknya, anaknya hendak dibunuh oleh penguasa yang sialnya telah menjadi suaminya. Berita itu di umumkan, dia seorang berkuasa, mendapat firasat buruk dari dukunnya yang berkata bahwa nanti akan ada seorang anak lelaki yang lahir di tahun ini yang akan menjatuhkanmu dari kursi kekuasaan, dan keluarlah perintah itu, perintah untuk membunuh semua anak kecil yang lahir di tahun itu. Kasihan? Dia sudah kalap, kekuasaan yang memberikan dia segalanya, dengan mudah mendapatkan apa yang dia inginkan dengan sekali perintah, ada yang menolak tak memberi apa yang dia pinta akan berujung terkapar sunyi dalam lumbung tanah, dia dapat memenuhi semua ambisi yang diinginkan membuat dia tak tahu menahu lagi apa itu rasa. Anak lelaki yang terbilang kecil diberbagai pelosok negeri tempat dia berkuasa di kubur hidup hidup, ada yang dipenggal, atau mungkin ada juga yang di tenggelamkan di sungai dan lautan.

Ibu itu, menyayangi anaknya, anak yang dikandung selama sembilan bulan, dibuai dan dimanja semenjak lahir dengan susuan dan ciuman yang tak hentinya dia berikan siang dan malam, hingga datang perintah berupa pengumuman dari suaminya sang pemimpin yang hendak membunuh semua anak lelaki yang lahir di tahun itu. Termasuk anaknya sendiri yang terlahir sebagai anak kecil. “Malang benar nasibmu anakku” ratap ibunda ketika menghanyutkan anaknya diatas keranjang dari anyaman rotan tahan air tempat anaknya tidur, menghanyutlah anaknya dibawa arus air, teriring tangis pedih ibunda yang tentu saja takkan pernah rela menjauh dari anaknya, tapi apa daya, daripada anak kecil tak berdosa merenggang nyawa, mending menjauh dan masih hidup walau tak tahu akan hanyut entah kemana. “Sayang ibu sepanjang masa anakku, semoga Tuhan itu ada dan menolongmu lewat perantara manusia lain, hingga kau besar nanti datanglah kembali ke Ibunda, ingat nak sayang Ibu sepanjang masa…”

Selang bertahun tahun berlalu, tak ada satu pun keraguan dari dalam diri sang penguasa akan nasibnya sendiri yang akan di taklukkan oleh seorang anak kecil yang mungkin setiap saat akan datang untuk menjatuhkannya dari kursi kuasa, semua anak kecil telah tertumpas. Tanpa sepengetahuannya bertahun tahun yang lalu, seorang anak kecil telah dihanyut ke sungai, anak kecil itu telah di temukan oleh seorang petani yang sedang memandikan kerbaunya di sungai, pertama yang melihat justru kerbaunya yang keranjingan, dikira si petani ada seekor ular yang datang hingga kerbaunya mengaum panik tak jelas, ternyata yang melintas adalah sebuah keranjang, ketika keranjangnya dia ambil dan keranjangnya diteliti baik baik, dia pun membuka kelambu yang menutupi keranjang itu, apa jadinya? Sontak anak kecil itu menangis ketika cahaya matahari menerpa wajahnya, dan tentu saja petani itu tak kalah kagetnya dan tak menyangka kejadian ganjil itu.

Tak ada cerita istimewa dan berbeda dari yang kita sudah ketahui dari berbagai macam cerita yang telah kita baca sebelumnya, termasuk apa saja yang terjadi pada sang raja dalam kurung waktu bertahun tahun selama dia menjabat menjadi penguasa, begitupula Ibunda sang anak yang anda sudah bisa mengira kira kira apa saja yang dia lakukan selama proses penungguan tanpa kepastian anak yang telah dia hanyutkan di sungai, atau bahkan apa yang dilakukan petani yang sedang memandikan kerbaunya disungai dan mendapatkan keranjak hanyut yang berisi anak kecil didalamnya. Semua cerita sama saja seperti apa yang anda bayangkan, seperti si penguasa yang masih saja memerintah sekehendak hatinya saja, untuk pemuasan keegoisannya, lewat kata kata yang belum jelas juga kebenarannya oleh si peramal sang penguasa menggiring tiap langkah langkahnya. Ada yang membangkang padanya dengan mencoba memberontak pada tiap keputusannya maka dengan mudah saja orang itu ditangkah oleh pasukannya dan kemudian di gantung di depan umum, membuat bergidik dan berpikir puluhan kali tiap warga yang dia kuasai untuk coba coba melawan perintahnya. Semuanya berjalan dengan tiap tindakan dari pasukannya yang nampak tak memiliki otak dan hati, sekali perintah turun langusng dituruti, tanpa dipikir logis atau manusiawinya perintah itu, mereka juga sudah terlanjur tergiur oleh gaji dan nama tentara kerajaan yang mereka dapat hingga mampu membuat segan rakyat biasa, ditambah ketakutan mereka sendiri pada tiap perintah penguasa yang jika mereka tak patuhi kepala jadi taruhan.

Sedikit berbeda buat Ibunda anak yang dirundung duka terus menerus selama bertahun tahun semenjak dia menghanyutkan anaknya, perasaan terluka yang semakin lama semakin membuat hati si Ibunda menjadi tak karuan, lebih besar kesensitifan dari perasaan si Ibunda membuat pikiran logisnya sudah tak berguna, tak ada lagi yang hendak dia lakukan selama bertahun tahun itu. Kurus selayaknya mayat yang masih bernyawa, hanya dua kemungkinan yang ditunggu yakni kematian dan kebahagiaan yang masih tak jelas, apakah anaknya masih hidup atau kah sudah mati ditenggelamkan arus air. Air mata Ibu malang itu telah habis, malah air matanya yang terkesan terpaksa keluar ketika bayang bayang wajah polos anaknya yang tak berdosa itu menggerayang di benaknya terpaksa keluar, air mata yang menyerupai darah, tak cair layaknya air mata manusia, tapi kental yang warnanya agak kehitaman. Kasihan? Anda takkan pernah bisa membayangkannya sampai anda merasakannya sendiri. Nampak gila kadang kadang Ibu anak tak berdosa itu, kadang tertawa keras sendiri ketika bayang anaknya yang tertawa kecil yang lucunya tak terkira saat dia kelitik manja datang menyergap di benaknya, namun tiba tiba lamunannya buram dan teriak tangis yang membahana mengganti adegan itu. Sontak saja para pembantu dan petugas keamanan di kediamannya bersama sang penguasa menjadi kaget dan prihatin. Ketika dokter kediaman yang tentu saja menyerupai kerajaan mencoba memeriksa penyakit apakah gerangan yang sedang di derita oleh istri sang penguasa maka nihil dan tak ada jawaban, ketika diajak berbicara pun, si Ibunda tetap bungkam, tak dapat berucap, mengunyah makan pun tak bisa, tenaganya untuk bangun dari tempat tidur sudah habis, untuk minum pun tak bisa, setiap mencoba minum atau makan pasti dimuntahkan. Tak beberapa hari kemudian Ibunda anak yang tak berdosa itu pun meninggal dan di makamkan secepat penduduk melupakannya.

Sedang apa yang terjadi pada petani itu? Sama saja, tak ada hal yang istimewa, sama seperti awal mula kehidupan dia yang telah memiliki 7 anak sebelum anak dalam keranjang itu dia dapatkan, tetap miskin dan melarat. Untuk makan lewat usaha pertanian, dimana pertanian hanya dua kali setahun panen, untung buat petani yang tempat bertaninya tanah dia sendiri, tapi malang buat petani kita satu ini, dia bekerja ditanah orang lain. Kerbaunya pun milik orang lain, gaji mengembala kerbau hanya seberapa, gaji menjaga lahan pertanian bisa dibayangkan hanya berapa pula, dengan 7 anak apakah anda bisa bayangkan bagaimana menghidupi mereka dengan gaji tak seberapa? Dan datanglah anak baru itu menambah beban hidup petani malang, dengan apa lagi dia hendak mempertahankan semua ini agar tetap hidup, dengan 7 anak ditambah satu anak lagi! Untung saja yang namanya petani atau kalangan bawah di masyarakat selalu saja menghadapi kehidupan dengan senyuman, menganggap segala hal pasti ada jalan dengan usaha, mereka hidup dengan kerja keras semenjak lahir, dan sekarang tentu saja tak patah arang semangatnya. “Hidup selalu menyenangkan ketika kita selalu berusaha untuk membuatnya nampak menyenangkan” kira kira begitulah prinsip hidupnya yang dia dapat dari ayah si petani, terpatri di benaknya hingga kini.

Kita selalu saja terbuai oleh cerita cerita yang berakhir dengan bahagia dan selalu merasa kasihan pada cerita cerita yang berakhir dengan kesedihan. Manusia terlalu perasa! Dan memang itulah kebenaran tentang manusia, seperti kata orang yang menyayangi manusia lain lewat tulisannya zaman dahulu yaitu “Tugas manusia adalah menjadi manusia”. Manusia memiliki dua hal, akal untuk berpikir dan hati untuk merasa, menggunakan pikiran agar bisa berguna untuk manusia lain, menggunakan pikiran untuk bisa mempertahankan kehidupan agar bisa tetap bersemangat menghadapi hidup yang serba tak terduga. Juga guna hati untuk merasa, merasakan segala macam hal yang terjadi didalam hidup, mengangis ketika sedih, tertawa ketika senang, dan sedih ketika hal hal mengenai kemanusiaan di langgar oleh manusia lain, senang ketika semua manusia saling menghargai kebebasan menjalani kehidupan yang mereka pilih, perasaan manusia adalah simbol nyata seorang manusia dikatakan seorang manusia, tanpa perasaan maka manusia tak beda dengan “Homo Homini Lupus” atau manusia satu adalah serigala untuk manusia lainnya, memakan hak hak hidup manusia lain, mengacuhkan hak hidup manusia lain. Banyak yang mati oleh satu orang manusia, sejarah telah menulis kenyataan bodoh itu, kenapa itu terjadi? Ini semua demi ego.

Apa yang terjadi pada anak kecil yang tak berdosa itu? Terpaksa di layarkan diatas keranjang untuk menjauhi kematian yang telah di ikrar oleh sang penguasa lalim nan bodoh. Si Ibunda malang tak bermaksud, justru kecintaan yang terlalu datang memaksa keadaan, Ibu mana yang rela anaknya dibunuh? Disitulah ada pilihan, pilihan selalu menjadi jalan, dan tak semua pilihan bagus, selalu saja didalam pilihan ada resiko, dan manusia memilih untuk mendapatkan resiko, resiko yang baik untung dan resiko buruk buntung. Anak kecil itu apa yang hendak dikata? Beruntung atau buntung kah? Mati atau mendapat kehidupan yang bisa saja mati kapan saja diatas keranjang yang dihanyut di sungai, atau mungkin hidup dengan keberuntungan yang tak jelas juga? Siapa yang tahu! Untung saja masih ada Tuhan. Tuhan bertindak selalu berbeda dengan apa yang diinginkan manusia, kenapa? Karena Tuhan saya rasa ingin mengajarkan manusia agar tak terlalu bergantung padaNya, Tuhan ingin melihat manusia berusaha sendiri, mencurahkan keringat dan usaha untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, Tuhan memberi restu dan manusia yang melaksanakan.

Anak kecil itu yang sekarang sering kita lihat di dalam televisi, kita tangisi karena kasihan terhadap dia, apa anak kecil itu senang di tangisi? Dia sangat membenci tangisan kita, dengan tangisan tanda peduli itu membuat mereka merana, merana karena anda mengira bahwa dia hidup tak bahagia. Apalah kehidupan bahagia itu, yang merasakan bahagia ada orang yang sedang menjalani. Dan saran saya, matikan televisi anda, televisi memaksa anda selalu saja kebanyakan menangis dan mengumpat tak jelas, mari membaca buku saja, pelajari sejarah.

Kasihan Bantul, 17 May 2011, 18:19