Saturday, October 20, 2012

Dibuai Oleh Hujan Imajiner


Kau datang kesini, bercerita bahwa hidup tak selamanya linier dan hati tak selamanya tersier, padahal kau tak pernah mau tahu arti dari hidup, juga arti dari cinta. Kau dengan bangganya berkata bahwa hidup cukup dibawa santai dan tak usah terlalu dipikirkan. Aku terdiam mendengarkanmu bercerita, walau beribu penolakan dalam hati ini hendak berteriak, aku tetap diam, entah mengapa, aku hanya ingin mendengarkanmu bercerita, melihat ekspresi kekesalan yang tetap dianulir dengan senyuman terpancar mantap dari wajahmu ketika bercerita. Kau bilang waktu terus berjalan, sesekali berbalik belakang dan mempelajari kesalahan, tiap langkah itu kesalahan, apalagi kita masih muda, tiap kesalahan butuh perbaikan dan jika masa muda adalah tempat berbuat kesalahan maka masa tua atau masa dewasa adalah kebalikan dari masa muda. Kira kira begitulah kau bertesis tentang kehidupan, tentang metafora menjadi manusia yang benar benar manusia, tak hanya manusia yang berakal namun tak pernah menggunakan akal secara maksimal, manusia  yang berperasaan dan tahu benar menggunakan perasaannya.

Kau mencoba banyak hal yang kamu sukai, kau tahu bahwa kau akan gagal dan gagal, tapi kau tetap tidak peduli dan terus melangkah dengan kegagalan lainnya. Aku senang melihat kau seperti itu. 

“bagaimana dengan pikiran dan perasaanmu lewat goresan pensil dan penamu diatas kertas itu? Apa kiranya maksud dari semua itu?” tanyamu waktu melihat aku sedang menggambar.

“kehidupanku ada diatas tiap goresan pena dan pensil ini, aku coba menyerapi semua hal yang ada lewat menggambar” jawabku sekenanya.

“menurutmu apa itu kehidupan?”

“tak tahu. Kalau menurutmu apa itu kehidupan?”

“kehidupan itu hujan, datang bergerombol dari kegelapan, jatuh ke bumi dan memberikan kehidupan pada tiap hal yang terkena airnya. Kira kira seperti itulah.”

“kalau di musim kemarau seperti ini bagaimana?”
                                       
“gampang, bukannya kau tahu bahwa dari 100 persen dari pikiran manusia harusnya 98 persen imajinasi dan 2 persen ilmu pengetahuan? Iya kan? Jadi tinggal membuat hujan imajiner saja. Hidup tak usah dibuat susah, dipermudah dengan permainan pikiran saja, sedikit senyuman, dan anggap saja semua masih baik baik saja.”

“oh begitu…” jawabku sambil tak berhenti menikmati ekspresi dari wajahnya yang polos dan tanpa dosa, tapi sepertinya memang dia jauh dari dosa karena dapat dilihat dari pakaiannya dan segala macam hal yang melekat ditubuhnya menandakan dia seorang hamba Tuhan.

Jombor, 20 Oktober 2012, 07:35