Friday, March 27, 2009

Kenangan Denganmu Naik Vespa

Asalamulekum...


seperti kumunan sebongkah kotak besar dan kecil...

tersusun tak menentu hingga membentuk sebuah hati...

seperti itulah perasaan... rumit tuk menjelaskannya...

Senja pun telah tenggelam sekian jam yang lalu, suasana semakin diperkeruh kerumuman lalu lalang orang orang di sekitar jalanan yang kukira sehabis jalan jalan sekedar tuk melihat lihat atau bahkan ikut serta dalam perayaan “Sekatenan” di alun alun kota, yaitu acara tahunan yang dieselenggarakan di kota Jogja oleh Sultan untuk melepas keramat bulan Muharram. Riuk gembira seorang anak kecil yg digandeng tangan oleh ayahnya yang membelikan manisan gula yang dipegang erat ditangan kanannya dan tangan kirinya sibuk menggenggam erat tangan sang ayah membuatku sedikit ingat iri akan masa kecilku yang rabun akan arti sebuah kegembiraan.

Kuamati sekeliling, langkahku perlahan selangkah demi selangkah menapaki riuk keramaian disekitar perampatan antara jalan menuju alun alun cuman beberapa meter dari diadakannya sekatenan, ujung jalan dari Jl. Malioboro, jalan menuju Jl. K.H. Ahmad Dahlan, dan jalan menuju Jl. Gondomanan, tepatnya di “0 kilometer” (aka 0 km) kota Jogja mengamati tiap wajah hampir ratusan atau bahkan ribuan yang lalu lalang tanpa ada satupun yang kukenal. Di tengah kesendirian yang memang kusengaja ingin menyendiri saat itu, padahal kutahu ada kawan kawanku yang tadi berbarengan denganku beranjak dari kontrakan menuju ke “angkringan BI” (angkringan: semacam tempat nongkrong versi mini dengan gerobak yang menjual nasi bungkus ukuran mini yang sering disebut nasi kucing) di depan pekarangan gedung BI.

Rencana awal kita menuju gedung BI yang tepat berada di dekat perampatan 0 km, adalah untuk bertemu sapa dengan kawan dari luar kota yang kebetulan lagi berlibur ke kota Jogja bersama 2 orang kawannya. Namanya Jember dari Jember, diberikan nama Jember karena berasal dari Jember tak tahu awalnya mengapa anak anak yang lain memanggilnya Jember, ini semua berkat olahan kata kata aneh dari si Mbek kawanku, otak dari rencana menuju ke depan pekarangan gedung BI, si Jember datang ke Jogja bersama kawannya yang sekaligus berstatus pacar bernama Dini seorang cewe yang judesnya bejubel namun tetap ramah diajak ngobrol (dengar dengar dari cerita si Mbek, Jember dan Dini awalnya kenalan kemudian bertemu dan saling jatuh hati lewat via internetan loh?), dan satu lagi kawan si Dini ehmm bernama Ratih si cewe bergigi behel yang selalu tersenyum dengan perawakan riang gembira saat diajak ngobrol(halah lebay sepertinya). Sekali mungkin karena adanya kata kebetulan lagi, kedua cewe ini ternyata berasal satu daerah dengan diriku Makassar, walaupun diriku bukan asli Makassar tapi disana ku tinggal selama mengecap bangku SMA.

Sedikit cerita mengenai kawan kawanku yang lain. Si Afgan adalah seorang Pekalongan sejati dengan perawakan agak pendiam jika pertama kenalan, namun jikalau sudah mulai keluar kepribadian gokilnya bisa berubah 90 derajat. Si Budi adalah seorang Solo agak pendiam juga namun memang pendiam kok perawakannya, selalu bersedia jikalau diajak ngobrol serius, dan sekarang lagi mengembangkan selera humornya yang kurasa agak kurang, hehehe. Si Mbek satu asal dengan si Budi dari Solo dengan perawakan yang sama dengan rambut keritingnya yg kagak jelas, namun selalu heboh tiap saat. Si Jude satu asal denganku dari Makassar namun aseli Ambon tapi anehnya mukanya agak ke indo-indoan, dengan perawakan yang selalu di mirip miripin dengan idolanya si Jim Morrison dimulai dari style rambut sampe kostum keseharian dan dia pun berjanji dengan penuh keyakinan bakal bersedia mati demi musik (hohoho lebay bukan?), dan satu lagi pacar Jude si Ririn adalah satu satunya dari kami yang aseli Jogja, dengan perawakan yang kekanak kanakan, dan manjanya super duper menyebalkan.

Dengan puluhan armada burung gereja yang sibuk mondar mandir diatas awan di sekitar pekarangan gedung ke-Sultanan kota Jogja semakin memperuwet suasana malam, kuamati segerombolan pengamen jalanan dengan berbagai alat musik yang mereka mainkan semabari mendendangkan sebuah lagu dari Iwan Fals tentang si Bento, dan dalam hati ku juga ikut bernyanyi mengikuti irama dari petikan gitar kayu si pengamen yang nampak menghayati bait demi bait lagu bang Iwan.

Huh, rasa bosan dan ingin bercerita pun datang ke benakku dan kutapakki kembali langkahku menuju ke kawan kawan yang lain, waktu menyendiri telah usai.

“kemana aje lu?” teriak si Afgan

“hehehe, mondar mandir kagak jelas aja bung” jawabku dengan senyuman kagak jelas

“wah, si Armstrong ini lagi mikirin opo toh? Negara ora usah dipikirin, wis ono sing mikirin.” gurau garing dari si Budi

Si Jude dan pacarnya si Ririn berbarengan menyindir “wah, dasar seniman aneh, pasti lagi nyari inspirasi yah?… hahaha”

Dan kompak yang lainnya pun ikutan tertawa “hahahahahaha”

Dan diriku hanya diam tanpa satupun kata yang terucap hanya raut bibirku yang senyum aneh pada kedua pasangan aneh si Ririn n Jude yang mengingatkanku pada Sid n Nancy, pasangan Rock n Roll.

Mbek pun bergumam yang lebih mirip bernyanyi “ajakku pergi dari sini, sangat suntuk disini…” lagu dari Slank yang memang saat ini suasana sangat menyuntukkan dengan lalu lalang orang orang yg begitu ramainya hingga serasa lagi berada dalam pasar.

Si Ririn menyarankan “gimana kalau kita ganti suasana? Kita ke gubuk yuk? Udah 2 jaman lebih neh kita disini, nyari tempat yang enak gitu bwat cerita ceritaan..”

Dan semuanya pun setuju dengan saran Ririn tuk beranjak ke kafe Gubuk yang letaknya agak jauh, tak menunggu lama kita pun segera beranjak pergi. Jude dan Ririn yang datang dengan vespa mini warna merah sudah siap beranjak, motor GL pro si Budi dipinjam si Jember yang boncengan dengan Dini, sementara Budi dibonceng Afgan, dan diriku mengajukan diri dengan senyuman tanpa maksud mengajak Ratih tuk kubonceng dengan vespa tuaku berwarna hijau yang kuberi nama Jimmy dan dengan senyuman khasnya pun di menerima (dan kata Yuhuuuuu pun terteriak dalam hatiku… loh!), sementara si Mbek pun harus rela menanggung beban naik motor sendirian.

Dan disinilah mulai sebuah cerita yang membuatku hingga sekarang senantiasa mengawang awang senyum sendiri kagak jelas. Apa artinya tak tahulah.

Ratih…

Kita pun beranjak menuju ke kafe Gubuk.

Di perjalanan terjadilah perbincangan diriku dan Ratih.

“ehmmm, udah pernah naik vespa sebelumnya?” tanyaku basa basi memulai perbincangan

“mmmm, belum pernah” jawabnya polos

“wah, brarti kamu bruntung dong malam ini?’

“hehehe, iya…”

“udah pernah dengar lagunya Naif yang naik vespa blum?”

“udah… trus skarang ngalamin” (berharap dalam hati moga moga dijalan tidak mogok seperti dalam lagu)

“udah kemana aja di Jogja?”

“belum kemana mana, baru ke kopi joss di samping stasiun tugu” (kopi joss: kedai kopi yang menyajikan kopi hitam dengan celupan arang hitam disatukan dalam sebuah gelas)

Dan, tanpa mikir panjang, agar perjalanan terasa menyenangkan buat Ratih maka diriku pun yang memang berada pada posisi paling belakang dari rombongan, mengambil jalur lain dikarenakan ada banyak tempat yang ingin kuperlihatkan pada Ratih di kota Jogja yang memang baru terlihat indahnya dikala malam hari. Pertama kuajak dia menuju ke kopi joss yang sudah di datangin tadi sore, dengan maksud ingin memperlihatkan padanya kalau kopi joss itu ramainya kalo malam hari, dan Ratih pun kaget waktu melewati kopi joss yang ramainya bejibun dengan kiri kanan nampak duduk diatas tikar disamping trotoar jalan sering disebut lesehan. Tempat kedua kuajak Ratih melihat tempat nongkrong mahasiswa pada malam hari di Kalicode, yang dipenuhi oleh mahasiswa mahasiswa pecinta cerita dan secangkir kopi sepanjang trotoar jalan juga duduk secara lesehan.

“eh, ku pengen lihat UGM dong?” kata Ratih.

Dan dengan kecepatan kura kura pun kupacuh Jimmy menuju kesana. Disampainya disana, suasana nampak ramai pula dengan mahasiswa yang nongkrong di warung warung depan kampus dan duduk2 lesehan menikmati malam.

Ditengah perjalanan menuju Gubuk, kami ditemukan oleh rombongan anak anak yang lain yang ternyata sedari tadi menunggu kami berdua, dengan pandangan yang menyangka diriku membawa lari Ratih ke suatu tempat.

“weh, Armstrong kau kemana saja bawa temanku?” kata Dini yang nampak khawatir karna kami berdua lewat jalur yang lain.

“hehehe, cuman ngajak gw jalan jalan liat Jogja kok” jawab Ratih

“iya kok, gw cuman ngajak ratih liat suasana Jogja kek gemana kalo malam hari” jawabku.

Trus kulanjutkan “tenang aja, gw bakal jagain temanmu kok?” tanyaku pada Dini

Dan kawan yang lain pun melihat dengan keheranan karna jarang jaranganya diriku berani berhadapan denga cewe. Terutama si Mbek yang langsung menyindir

“wah, si Jimmy bakal dapat pelanggan kursi belakang neh?” dan semuanya pun terbahak tak karuan. Dan diriku pun merona (sungguh lebaynya diriku malam ini…).

Perjalanan pun dilanjutkan dengan iringan Budi dan Afgan di belakang yang jaga jaga kalo diriku nantinya salah jalur lagi. Tinggal sedikit lagi kita sampai ke kafe Gubuk, satu kejadian sial pun menimpa diriku dan yang kubonceng, yaitu kebandelan dari si Jimmy apalagi kalau bukan penyakit motor tua yang dinamakan “Mogok”. Sembari mengingat dalam benakku akan lagu dari Naif

Naik vespa keliling kota dengan hati riang… vespa mogok dijalan turun pula hujan…

Untuk saja malam ini tidak turun hujan, dan mulailah kuacak acak mesinnya Jimmy, dan tak sampai semenit Jimmy pun sadar kembali. Dan perjalanan yang tinggal sebentar lagi nyampai ke kafe Gubuk pun dilanjutkan.

Diam diam si Ratih nyanyi lagu Naif dibelakangku sambil senyam senyum. Diriku pun ikut bernyanyi dengannya.

Malang tak dapat ditolak, si Jimmy pun kembali mogok padahal baru jalan beberapa meter. Sial teriakku dalam hati.

“Ada apa denganmu Jimmy?”

“ Apa dirimu grogi karena bonceng cewe?”

“Apa karna dirimu memang grogi abis karna baru bonceng cewe lagi setelah hampir 2 tahun yang lalu terakhir bonceng sahabatku yang datang ke Jogja yang berasal dari Samarinda itu?”

“huh, Jimmy… oh Jimmy…”

Bagai orang jatuh dari pohon kelapa, ketiban buah kelapa pula. Hujan tiba tiba turun titik demi titik, semakin memperjelas lagu dari Naif yang Naik Vespa. Dan diriku pun berinisiatif tuk menyelamatkan Ratih dari kehujanan (halah), dengan menanyakan pada Afgan dan Budi yang dengan muka penuh tawa akan kebandelan Jimmy sudah standby di belakang kami dari tadi yang juga berhenti ketika Jimmy tiba tiba saja mogok tanpa aba aba terlebih dahulu (yaiyalah). Belum diriku menanyakan perihal mending ngantar si Ratih duluan aja ke kafe Gubuk si Afgan udah duluan mengajukan diri tuk mengantar Ratih duluan ke gubuk dikarenakan hujan sudah mulai turun. Dan Budi pun dengan tawa yang garing pun siap menemaniku mengobrak abrik mesin dari si Jimmy yang bandelnya minta ampun.

Hujan pun turun dengan derasnya. Ratih pun sudah sampai di kafe Gubuk. Diriku dan Budi pun masih sibuk menggedor gedor mesin Jimmy hingga akhirnya sadar kembali. Fyuhhhh…

Sesampainya di kafe Gubuk dengan agak basah kuyup. Diriku hanya diam diam menahan malu pada si Ratih, dikarenakan telah menyusahkan dirinya dengan kebandelan si Jimmy. Dengan sedikit keahlianku dalam menggambar komik pun mulai kukerahkan untuk minta maaf sama si Ratih, maka mulailah diriku menggambar sendiri tanpa ada satupun yang tahu di tengah keramaian anak anak yang lain pada main kartu remi.

Setelah gambar kartun Ratih pun selesai dengan latar gambar si Jimmy lagi mogok dan dengan raut muka Ratih di gambar itu yang lagi kesal selesai, maka kuberikan padanya sebagai tanda maaf karena telah merepotkan.

“neh, gambarmu dengan si Jimmy yang lagi mogok” sembari menyodorkan selembar kertas dengan gambar dirinya dengan si Jimmy disana

“ciyeeeeeeeeeeeee… suit suit…” teriak anak anak yang lain

“wahhh… makasih yah?” jawab Ratih

Lanjutnya “kagak apa apa kali, lagian juga mogok kan ga bisa diduga…”

Dalam hati kumerasakan sesuatu yang tak bisa diungkap dengan kata kata.

“eh, ntar klo udah balik ku dibonceng dengan Jimmy lagi yah sampai ke hotel?” ajak Ratih yang kukira sudah nyesal dan tak mau lagi naik Jimmy yang tukang mogok.

“hehehe, dengan senang hati kan kuantar, dan kali ini bisa kupastikan si Jimmy kagak mogok lagi…” jawabku sumringah

Jam pun menunjukkan pukul 02.00 saatnya tuk pulang. Dan kafe Gubuk pun sudah mau tutup dengan aba aba lampu lampu mulai dimatikan.

Diriku pun melaju ke hotel tempat Ratih dan Dini nginap, dengan hati yang menggebu gebu… Betapa senangnya malam ini pikirku. Dan dengan sukses dan tanpa mogok berhasil kuantarkan Ratih sampai ke hotel.

Seusai kuantarkan ratih ke hotel dengan perasaan lega, ku mulai beranjak pulang bersama kawan kawan yang lain ke kontrakan.

“makasih yah Armstrong? Besok besok kalo ke Jogja lagi pengen dong dibonceng pake Jimmy lagi…” kata Ratih

“okey… pasti kubonceng dengan Jimmy lagi dah, asal kamu kagak kapok aja dengan kebandelan Jimmy…” diakhiri dengan senyuman

“ngga kapok kok… malah ketagihan” sembari tersenyum nantang

“yaudah, gw balik dulu yah? Dagh…” senyuman terakhir malam ini, karna besok mungkin takkan ketemu lagi.

“dagh…” senyumannya manis sekali...

Beranjak pulang ke kontrakan, entah mengapa rasa senang yang terlihat berlebihan dari raut wajahku hingga sempat dipertanyakan dengan pertanyaan yang sudah bisa di tebak apaan oleh anak anak yang lain. Dan kujawab dengan singkat

“May be… hahaha”

Semenjak malam itu bersama dirimu, ehmmm Ratih. Dirku jadi keingat mulu dengan lagunya Naif yang judulnya Naik Vespa itu… tapi sayangnya lagunya cuman mirip sedikit dengan kejadian malam itu bersamamu…

Naif - Naik Vespa

Pergi di hari Minggu, Bersama pacar baru (keknya belum… :D)
Naik vespa kliling kota, Sampai binaria (sampai di kafe…)
Hatiku jadi gembira (Yupppp, pastinyaaa…!)


Sesampainya di sana, Duduk dua-duaan (huhuhu duduknya beramai ramai… :()
Makan roti buaya, Dengar lagu kita (minum kopi…)
Kita menari bersama (hahaha untung kagak sampe nari)


Di batang pohon kan kuukir nama kita, Tanda sayang selalu (kalo ini kuukir di kertas putih…)


Sore hari telah menjelang. Saatnya untuk pulang (hmmm malam menjelang pagi…)
Vespa mogok di jalan. Turun pula hujan. Berteduh kita di taman (hehehe… ngga pake berteduh ding))


Lihat 'dik itu melati. Indah nian berseri (hmmm mogoknya dekat kali’ :()
Kan ku petik untukmu. Simpan dalam hati. Nanti ku ambil kembali (hehehe, tenang kagak bakal kuminta kok kertas itu…)


The End…

*________________*

Walekumsalam...

Friday, March 20, 2009

Kedai Kopi Ningratri

Asalamulekum...

ningratri tampak dari depan...

Pertama tama kita akan membahas tentang arti, guna, dan makna daris I sebuah nama yang udah tak lazim lagi ditelinga kita yaitu… Kopi…

Kopi adalah termasuk biji bijian yang awalnya sebelum dipetik dari pohonnya ditunggu menjadi agak kemerahan, dikarenakan eh karena kalo belom warna kemerahan atau keijo ijoan belum matang brarti… (iya ga seh???)

Proses pembuatan kopi sebelum menjadi sebongkah biji bijian yang berwarna ke itam itaman seperti pada gambar yang beredar dipasaran pada umumnya, itu sbelumnya telah mengalami banyak improvisasi. Disamping pembakaran yang memakai alat tertentu dan kalo alat klasiknya yang di bakar dalam gerbong kecil yang tertutup. Di goyang goyang, diputar putar hingga warna kulit kopi agak kegosongan dan berwarna ke hitam hitaman.

Setalah kopi menghitam mulailah proses penggilingan menjadi serbuk halus yang nantinya tingga menunggu proses penyeduhan dengan berbagai macam cara, baik dengan hanya mencampurnya dengan air panas sajjah, atopun ditambahkan gula secukupnya, dan kadang pula di improvisasi dengan campuran susu, crim, dan malah ada yang sampai mencampurnya dengan kayu manis, dan bahkan kayu yang telah dibakar menjadi arang (biasa disebut kopi joss).

Umumnya kopi mengalami klimaks dari sebuah kenikmatan apabila dinikmati kala malam hari dimana mata yang mulai sayu kelelahan bisa menjadi agak segar dan siap menikmati malam dengan seutas cerita dengan kawan ataupun sekadar menghabiskan malam dengan berbagai macam kesibukan lainnya (contoh: lembur kerja, dll). Kadang pula kopi terasa begitu nikmat dalam lambung ketika diseduh dipagi hari, dikala mentari masih tampak mengantuk menunjukkan wujudnya diselah pepohonan membangunkan ayam yang langsung teriak kaget dengan nada ‘kukkuruyukkkkk’…

Tergantung dari seberapa senangnya seseorang terhadap kopi, dan seberapa berartinya kopi bagi tiap penikmatnya. Hingga ada sebuah kedai kopi bernama Ningratri yang kebetulan cabang dari kedai kopi legendaris dari kota pelajar Jogjakarta “Blandongan” yang mengatakan begini “selamatkan anak bangsa dari kekurangan kopi”… luar biasa kan!

Yah inilah bentuk ekspresi dari kecintaan terhadap kopi, kalao menurut tante “Dewi Lestari” aka Dee yang sampai membuat sebuah novel yang berjudul “Filosofi Kopi”, isi dari novel ini yang menjadi inti dari seutas kata tentang filosof adalah “tiap seduhan kopi dengan berbagai macam takaran dan campuran itu memiliki makna filsafat”. Hmmm that’s rights anyway…

Malam pun menjelang, lampu lampu jalan pun mulai menampakkan diri dengan semburan cahaya yang remang remang ditiap sisi jalan kota Jogja. Tikar tikar anyaman pun mulai di jalarkan di tiap sisi sepanjang jalan Malioboro, tanda penjual masakan khas jogja ‘gudeg’ siap berjualan. Maklum sebagian besar penjual makanan di Jogja memang baru buka kalo malam hari mulai menjelang. Apalagi hari ini hari sabtu, otomatis rame bangettttss…

Sepanjang jalan yang kulalui nampak lalu lalang orang orang yang habis beraktifitas, maklum jam sekrang udah nunjukkin 9.00 pm. Dan tak jarang si Jimmy (my scooter) meraung raungkan bunyi dari knalpotnya tanda iri pada sepasang muda mudi yang boncengan dengan pasangannya dan terlihat begitu mesranya… (ohwww noo!!!)

Dengan hati penuh suka dan duka akan hari ini yang telah berlalu kulaju si Jimmy dengan kecepatan diatas rata2, hmmm coba bayangin kecepatan kura kura sungai balap lari, kira kira begitulah kecepatannya.

Karena eh karena niat malam ne pengen keluar nyari inspirasi bwat gambar gambar di kertas sketsa gw, yang rencana bwat pemanis buku puisi gw yg lagi coming soon. Jadi, gw inisiatif mencari tempat nongkrong sembari menghirup udara malam dan menikmati secangkir kopi dengan nuansa lalu lalang kendaraan yang saling melaju berpacu dengan waktu, kupilihlah kedai kopi yang dekat dengan jalan raya, dan pilihan jatuh pada Kedai Kopi Ningratri. Tepatnya beralamat di Jl. Kaliurang km. 5 sebelah kiri sebelum ringroad.

Si jimmy pun melaju dengan senyum kecut…

Sekitaran 30 menit berlalu…

Sampailah pada tempat tujuan. Suasana nampak ramai oleh para pemuda, pemudi, maupun para lansia (hehehe, orang yg udah beruban termasuk didalamnya). Si jimmy gw parkir dengan gagah berani dan beradab di depan kedai. Hooo ternyata di kedai begitu ramainya hingga tak ada tempat untuk menyendiri, kan kebiasaan aneh gw itu menyendiri di tempat yang ramai… (aneh emang).

“Mas pesan Kopi Dewa” kata gw pada pelayan kedai yang lagi asik nonton pertandingan sepak bola liga Italia.

(Kopi Dewa: semacang kopi yang diracik dengan komposisi air dan serbuk kopi 50-50 dalam gelas yang berukuran agak gede, bisa dipesan dengan variasi susu jikalau mau. Harga cukup miring, hanya 4500 rupiah, dan rasa boleh lah!)

“okeh, bung!” jawab pelayan kedai.

Kutatapi wajah para penikmat kopi perlahan satu persatu, siapa tahu ada yang gw kenal. Senyam senyum kiri kanan (supaya nampak sebagai orang yg ramah) Dan ternyata hasilnya nihil kagak ada yang gw kenal!

Jalan mondar mandir nyari tempat yang kosong, dan mata gw tertuju pada sebuah kursi kayu memanjang disamping orang orang yang lagi sibuk bermain kartu remi bersama teman2nya.

“mas, boleh duduk disini?”

“boleh bung, monggo…” jawab salah satu dari mereka.

“sendirian aja bung?” Tanya si bapak tua yang botak, yang kebetulan pake vespa juga kek gw, yang lagi duduk santai bercerita dengan kawannya, dan dia nyapa karna gw pake vespa. Mengapa sesama pemakai vespa musti saling sapa? Karena eh karena anak vespa Jogja itu terkenal dengan solidaritasnya, dan bapak tua botak itu membuktikan kebenaran akan hal itu.

“iya neh pak, lagi pengen sendiri ajah…” (hahaha, boong abis dah gw. Sebenarnya kagak ada orang yang mau gw ajak keluar malam, karena eh karena kalo gw yang ajak pasti acara keluar malamnya sampai pagi hari menjelang, dan sedikit orang yang mau ikut untuk hal seaneh tersebut…) sambil tersenyum ramah…

Si bapak botak pun nanya2 lagi.

“kok kagak nongkrong sama klub vespa bung? Kan hari malam mingguan?”

“lagi absen pak! Malam minggu kali ini cuman pengen ngabisin sambil gambar2” sembari ngeluarin peralatan gambar gw dari dalam tas yang gw jingging sedari tadi..

“ohwww, tugas kuliah opo?”

“kagak pak, cuman iseng iseng berhadia aja”

“loh, emang bung mau gambar apaan kalo boleh tahu?”

“gambar sketsa biasa sajjah pak, ini ada project dari kawan katanya pengen digambarin ceweknya. Kan lumayan pak di kasi sebungkus rokok”.

“wah, kalo begitu tetap semangat lah bung”.

“yoi dong pak!”

Si bapak botak pun kembali ngobrol dengan kawannya yg cuman melongok senyam senyum meliat gw ngobrol dengan kawan ngobrolnya.

Kertas sketsa gw udah siap, pensil 2b gw udah kagak sabar pengen mengoras gores. Kopi Dewa yang di bawa ama pelayan juga udah tidak sabar gw seruput, namun didahului oleh sebatang rokok udah mulai mengepul diseantero muka gw, mencari cari dimanakah mood dan inspirasi itu berada. Tanpa aba aba terlebih dahulu mulailah dengan khidmat gw menggambar.

Baru 20 menitan gw menggambar, dan baru setengah dari gambar sketsa gw selesai, rokok udah sebatang ludes, dan kopi baru 5 kali gw seruput. Secara kagak disangkah sangkah gw mendengar obrolan menarik antara bapak botak dengan kawannya yang kebetulan duduk di meja dekat meja tempat gw menggambar. Kira kira begini pernyataan dari bapak botak itu.

“hmmm, apa yang jadinya jikalau generasi muda sekarang ini sampai kekurangan kopi”

“kira kira bakal kurang generasi muda yang sukarela dan dengan bangga bermaksud ingin membuat negara menjadi lebih baik, dimana negara kita ini semakin terpuruk dalam ruang lingkup keterpurukan.”

Heh? Gw melongok kagak ngerti… *&^%$#@

Kira kira apa hubungannya kopi dengan keterpurukan bangsa? Belum sedetik gw berpiki lebih lanjut akan hubungannya antara kekurangan kopi dan bangsa Indonesia yang sedang terpuruk. Teman ngobrol dari bapak botak pun langsung melanjutkan jawaban dari pernyataan bapak botak.

“coba bayangin kalo negara kekurangan kopi, maka akan banyak kedai kopi yang tutup, dan kalo kita cukup teliti mengamati dengan seksama maka akan kita dapatkan para mahasiswa dengan jurusan yang saling berbeda ataupun satu jurusan, jurusan apapun itu, dengan secangkir kopi yang membuat mata melek dan pikiran melayang jauh ke mana mana, secara tak langsung saling bercerita akan pekerjaan apa yang bakal mereka teruskan nantinya dikala selesai kuliah”

Dan bapak botak melanjutkan…

“dan dikala cita cita secara tak langsung sudah diutarakan bersama kawan2, maka itu pun akan menjadi tonggak awal dari sebuah kesuksesan, ingat peribahasa yang mengatakan mulailah segala sesuatu dengan perencanaan…”

Temannya bapak botak menyambar dengan kata kata bijak pula…

“cerita tuka cerita menghasilkan berbagai macam ide untuk menjadi lebih baik, maupun hanya obrolan atau diskusi kecil kecilan di kedai kopi ditemani secangkir kopi yang semakin memperseru obrolan dikala mata seharusnya lelah telah menjalani pagi hingga sore menjelang dengan aktifitas kuliah dan berbagai macam hal yang tidak bisa dilakukan pada siang hari yaitu ngobrol ngalur ngidul kata orang jawa yang artinya ngomong yang menjalar kemana mana”

Bapak botak kembali beraksi dengan kata katanya…

“yah betul… ngobrol ngalur ngidul itu bisa ngabisin waktu yg tak seharusnya dilakukan kala beraktifitas, seperti kuliah ato kerja, karna kalo kuliah yg diomongin yah tentang pelajaran dan pelajaran, dan kalo kerja yah seputar kerja dan kerja… dan biar bagaimana pun tetap dan bahkan perlu ngomong ngalur ngidul itu ada… dan malam hari adalah waktu yang tepat… ditemani kopi sebagai penyemangat”

Hmmm, betul juga se menurut gw itu penting. Dan memang sebagai mahasiswa sulit membagi waktu ngobrol dikala pagi menjelang sore dikala aktifitas kuliah numpuk2, pasti dibatasi dengan tugas ini lah, ataupun jadwal kuliah, dan kalau dilakukan malam hari kayaknya pas sekali. Bercerita seputar pelajaran pada malam hari pun sebenarnya bagus dan tepat sekali, disamping sengatan sinar matahari begitu membuat otak menjadi encer dan sulit berfikir, rembulan dimalam hari membuat otak menjadi tenang dan semilir angin malam tambah mempersyahdu pikiran pikiran jernih keluar. Ditambah dengan kopi… euyyyy maknyuzzz tenannn…

Jadi kesimpulan dari obrolan bapak botak dan temannya bercerita akan jadi sia sia pikiran jernih para generasi muda dikala saatnya malam tiba untuk bercerita dan bertukar pikiran seputar dan tentang apapun jadi terhambat karena adanya ngantuk dan rasa lelah beraktifitas selama seharian dan susah ditahan tanpa adanya bantuan dari sang kopi.

Tak disangkah dan tak diduga pagi pun menjelang dengan cepatnya. Sketsa gw udah kelar dari tadi, ditambah satu buah puisi yang berjudul “Ningratri” (mungkin bakal gw posting pada postingan berikutnya).

Kira kira beginilah cerita tentang kedai kopi ningratri yang buka 24 jam non-stop meladeni para pecinta kopi. Yang akhir2 ini menjadi tempat kunjungan favorite gw untuk mencari inspirasi dikala ada project menggambar ataupun untuk merampungi project pembuatan buku puisi gw.


Walekumsalam...

Monday, March 16, 2009

Puisi "Romansa Cinta"

Asalamulekum...

Romansa Cinta

Ingin rasanya hati menggapaimu, menjadikanmu seperti bintang dalam pangkuan sang rembulan…

Rasa kagum dan penasaran bersatu mengoyak kesunyian malamku kala terduduk melamun sehabis melahap roman klasik tentang sepasang insan yang beradu dalam melodi cinta…

Rama dan Shinta…

Romeo dan Juliet…

Laila dan Maj’nun..

Beberapa keanehan dalam cerita akan betapa indahnya cinta…

Untukku…

Apalah daya jikalau keberanian menatapmu saja tak kuasa, terlebih jikalau memberanikan diri bertemu dan hendak bertukar sapa denganmu oh cinta…

Ku ingin merasaimu, menggenggammu dalam kepalan hingga akan kupertahankan menyelusuri lintas benua dan menyelami dalamnya arus samudera tanpa batas…

Agak klise anganku tentangmu oh cinta…

Tak sadar benakku menghanguskan logikaku…

Inikah wujudmu itu oh cinta…

Suatu kegilaan kah? Seperti si Laila dan Maj’nun…

Ataukah semacam kematian kah? Seperti Romeo dan Juliet…

Mulailah diriku mengigau jikalau cinta itu hanyalah dongeng cerita rakyat ala Rama dan Shinta…

Hingga saat ini…

Kelinglungan memenuhi otakku mengenaimu oh cinta…

Cinta… Bodoh kah manusia jika memikirkanmu?

Ningratri, Maret 09 (The Armstrong)



Walekumsalam...