Thursday, April 28, 2011

Dari Anakanda Untuk Bunda


Senyummu itu tak pernah berubah,

Hanya raut keriput yang semakin bertambah,

Sini biar kukecup pipi bunda,

Kecup tanda sayang dari anakanda...

Anakanda sekarang di cap nakal sama publik,

Semua yang anakanda suka mereka caci karena muak,

Salah anakanda apa bunda?

Mereka tak mau tahu kalau semua ini untuk mereka...

Lihat bunda kucing itu berak sembarang,

Semua tikus pengganggu sudah dibabat garang,

Anjing itu datang mengganggu kucing,

Sahabat manusia katanya itu anjing...

Lihat bunda langit kembali menangis,

Orang orang pada menunggu tangis habis,

Ada juga yang tidur sambil bermalas malas,

Padahal barusan sengat hari sangat panas...

"Bunda kenapa manusia musti punya perasaan?"

"Karena rasa sayang pada sesama diperlukan..."

"Bunda lalu kenapa mereka kadang saling hantam?"

"Kadang manusia lupa kalau Tuhan itu selalu geram..."

"Apa kurang kalau hanya kecupan dan sayang buat bunda?"

"Tak ada lagi yang lebih dari pengakuan kata bunda dari anakanda..."

"Kenapa kata bijak bunda selalu saja bikin anakanda menangis?"

"Kalau anakanda tak menangis berarti rasa sayang sudah habis..."

Jogja Nasional Museum, 11 April 2011

Saturday, April 16, 2011

Tangis Anak Kecil



Tangis Anak Kecil

Debu berhembus menyapu mata,

Perlahan genangan air meluncur keluar,

Gigil angin mengusap lembut kuduk,

Bulir embun menguap di sela,

Gemertak gigi tak tertahan bergetar,

Ungkapan tak mengerti bagai katak…

Bukan tak mau tahu mereka,

Bukan pula sekali perilaku akan sukar,

Lihat bunyi kala sedang tersengguk,

Dalam penghayatan ikut terbawa,

Merah padam wajahnya terbakar,

Tanpa ungkapan sayang pertanda buruk…

Tangis anak kecil yang sedang merana,

Tak ada kawan pula cerita akan ditukar,

Duduk termenung meratap dalam gubuk,

Hanya rumput ilalang tanpa bata,

Penerang pelita alas kumuh tembikar,

Atap kardus diterpa angin pasti akan tubruk…

Wujud kesedihan beribu rupa,

Tawa dan tangis berbarengan hadir,

Selaksa jejarum perlahan menusuk,

Pedih kini kadang tak terasa,

Masa depan penuh misteri tak apalah tersasar,

Penuh kesungguhan berdiri tegak…

Rembulan tersenyum takkan mudah reda,

Mentari penghangat dengan sinar,

Hibur nyanyi dedaunan melekat sabuk,

Gemercik air mengalir penuh canda,

Lambai rerumputan menggoda hambar,

Kicau burung memaksa senyum dengan cambuk…

Bantul Yogyakarta, 15 April 2011 – 15:19

Thursday, April 14, 2011

Hal Kecil


Banyak teori seribu malas,

Ini salah dan itu salah,

Lantas yang bodoh dianggap pas,

Senang sekali mereka tertawa,

Menertawakan sesuatu yang mereka anggap sampah,

Apa mau mereka membersihkan sampah?

Atau sedikit berpikir mengolah sampah?

Jika tak ada pembersih dan pengolah sampah,

Seperti apa dunia?

Hal kecil...


Masih belajar sudah sombong,

Anggap diri paling benar,

Ego senantiasa membara,

Bodoh lagi tak mau mendengar,

Jangan lihat siapa bicara tapi resapi kata kata,

Nyawa tak lebih dari kebanggaan,

Kebanggaan akan sesuatu yang didapat dibuat,

Pikiran dan perasaan penghasil karya,

Kan dipandang ketika mati menjelang,

Hal kecil?


Bulan dan bintang nampak kecil,

Tak sadar mereka kalau dunia ini juga kecil,

Manusia itu lebih kecil lagi,

Bagaimana dengan bakteri dan kuman?

Bagaimana dengan lima elemen bumi?

Anggap saja hal kecil itu tak penting,

Hingga anda mati pun dilahap nikmat cacing tanah,

Hal kecil...


Anggap hal kecil penting kalian bilang terlalu serius,

Bukannya tawa dan senyum juga hal kecil?

Apa penting hirup udara segar di pagi hari?

Apa penting menikmati matahari tenggelam dan terbit?

Apa penting meresapi kata kata?

Apa makna sudah tak penting lagi,

Hingga materi seolah menjadi topeng,

Tak kaya materi maka bukan kawan,

Hal kecil...


Bukan berarti begitu dan begini,

Cukup mengerti jika masih mau untuk mengerti,

Kawan itu untuk berbagi,

Tak hanya tawa namun juga sedih,

Tak hanya mengisi kesendirian tapi juga keramaian,

Tak hanya membohongi dan memaafkan,

Terima kasih itu kecil namun penting,

Untuk apa?

Untuk damai dalam hati agar pikiran tak berontak,

Hal kecil...


Hujan membawa senyuman,

Lihat dentingnya diatas genangan,

Senyum perlahan melebar hingga tak tampak,

Saat cerita mulai,

Bukan kepercayaan yang dibutuhkan,

Cukup perhatian dalam pengertian,

Tak ada yang salah dalam jalin kata kata,

Semua kata bagai madu untuk lebah,

Semua kata bagai kuncup mekar buat bunga,

Semua kata bagai air buat bibit,

Semua kata bagai pelukan hangat untuk kawan,

Hal kecil,


Kadang terlupa karena keegoisan,

Merasa terlalu benar,

Merasa yang lain selalu salah,

Tak ada kebenaran dalam benar,

Tak ada kesalahan dalam salah,

Semua hanya pelajaran untuk si bodoh,

Si bodoh yang bermukim dalam pikiran,

Agar mau menerima semuanya,

Tak usah mencari jalan untuk bertahan,

Cukup menerima dengan senyuman,

Senyum tanda mengerti,

Mengerti,

Hal kecil...



Seturan Jogja, 14 April 2011 - 10:04am

Tuesday, April 05, 2011

Cerita Cinta Rantau


2 bulan yang lalu…

“Saya datang ke kota ini sebenarnya untuk belajar, ingat belajar! Belajar segala hal yang saya suka saja, dan kalau kalian mau bermain main saja dan menganggap semua hal itu kecil dan tak penting silahkan, tak usah ajak ajak saya gabung dengan kalian lagi, kalian mau menjauh dan tak mau jadi teman saya lagi, saya tak peduli! Saya bukan teman kalian lagi”

Mentari kemarin bersinar begitu terang hingga kepalaku terasa seakan tengah terbakar, disenggol sedikit saja dengan perilaku sederhana maka luap emosi sudah tak kepalang bisa ditahan, dan akhirnya kata kata yang tak terncana hendak dikeluarkan langsung saja keluar tanpa komando, bukan maksud hati hendak begitu. Sudah dua malam saya tak bisa tidur, entah kenapa pikiran saya masih belum bisa berdamai dengan perasaan saya, walau dengan bantuan alkohol yang berlebihan tak juga mampu menahan debur ombak kenangan kala bersama dengan wanita itu. Wanita ini wanita yang datang tiba tiba dalam hidup saya, dan tak tahu apa yang dia cari dari diri saya, saya menganggap diri saya ini seperti badut, dan malah orang orang yang kenal sama saya menganggap saya ini aneh dan aneh, yah tak pernah saya dengar mereka mengatakan bahwa saya ini normal seperti mereka, entahlah saya juga tak tahu siapa saya, cuma menganggap kalau saya ini badut, terseralah orang lain mau bilang apa tentang saya.

Sungguh luar biasa wanita ini, sebelum sempat tahu namanya, dia sudah tahu kalau saya sudah tak beragama lagi sekarang, suka minum alkohol hingga mabuk tak sadarkan diri. Tapi dengan lugu dia bilang “saya suka semua hal tentang abang, apapun itu, apalagi kalau abang sudah bercerita tentang apa saja, disitu abang kelihatan sangat menarik untuk saya, dan kalau pun orang lain ada yang bilang ini dan itu, peduli tahi lah bang…”. Apa yang saya lakukan ketika itu, tak ada selain diam tanpa kata, barusan kali ini ada orang yang secara langsung bilang ke saya kalau suka dengan cerita cerita saya, saya memang sangat suka dan menikmati momen kala bercerita. Tiga hari saja saya berkenalan dengan wanita ini, hari pertama dia datang ke kos saya dan malah dia ketiduran hingga tengah malam, di kira sedang berada dikamar sendiri, dan waktu bangun dia langsung bingung dan ekpressi malu dari wajahnya tak tertahankan hingga akhirnya dia buru buru pamit pulang. Hari kedua saya datang ke rumahnya, disana saya di perkenalkan dengan adiknya yang dia anggap sangat dekat dengan dia sampai sampai tak mirip orang yang bersaudara kandung secara umum, malah mirip sahabat paling dekat kata dia, dan disana lagi lagi saya melakukan apa yang dia suka, yaitu bercerita, hingga tanpa disadari tengah malam pun datang dan saya pamit pulang itu pun karena sudah berapa kali saya lihat dia sedang menguap. Hari ketiga saya bertemu dengan dia waktu ban motor butut saya sedang ditambal di penambalan ban depan kampus, dia pun menemani saya di penambalan ban itu hingga selesai, entah apa yang dia piker dan rasakan waktu itu, soalnya wajah dia nampak begitu berseri seri tiap saat, ah saya sangat senang sekali waktu itu! Selesainya dipenambalan ban, saya tanya ke dia “mau kemana sore ini?” waktu itu kebetulan hari favorit saya, yaitu hari rabu, tak usah ditanya kenapa saya senang dengan hari rabu yang jelas kalau tiap hari rabu saya pasti senang, itu saja. Dia jawab “tak kemana mana bang, saya juga lagi bete kemana mana, kalau abang mau kemana?”. Saya menatap langit sore yang nampak sedang mendung dan kemudia menjawab “hmmm kayaknya tidak kemana mana deh, mau hujan… bagaimana kalau kita ke kos saya saja bertukar cerita?”, tak perlu ditunggu jawab panjang dari dia, cukup “Iya!”. Dan sesampainya di kosan, saya pun bercerita tentang banyak hal, dan seperti dua hari kemarin dia menyimak dengan seksama, seperti balita yang sedang mendengar dongengan dari bundanya sebelum tidur. Lagi lagi tak terasa, waktu pun beranjak ke jam 10 malam, dan dia mau beranjak pulang, katanya

“sudah larut malam, saya mau pulang rumah dulu bang…”

“oh iya…” jawab saya dengan ekspressi datar

“besok besok kayaknya saya bakal sering datang ke sini deh bang, ceritanya abang kayak tak ada habisnya, dan tetap seru seperti biasa…”

“oh iya silahkan, kalau mau sering sering ke sini, saya sangat senang sekali kalau bisa bercerita sama orang yang senang dengar cerita cerita saya…”

Sesampainya diluar, sebelum dia cabut pulang, saya memandu dia untuk mendekat ke saya, dan tanpa basa basi layaknya tokoh utama dia serial percintaan, saya langsung tanya ke dia

“anda mau tidak kalau jadi pacar saya?”

Tak ada jawaban dari dia, hanya palingan wajah kemerahan menahan malu saja yang dia berikan, dan saya pun bilang ke dia sembari membalik wajah dia kembali menatap mata saya “jadi saya ditolak yah? Ya sudah lah…”, kemudia dia jawab dengan malu malu khasnya “iya, saya mau jadi pacar abang…” dan dia pun balik ke kos, dan saya pun senyum senyum kegirangan.

Hari sekarang…

Tapi cerita diatas sudah berakhir dengan tanpa alasan jelas dari dia, dan dikarenakan alasan tak jelas dari dia ini, pikiran dan perasaan saya saling beradu argument dari dalam, hanya kebingungan yang nampak dari luarnya. Sebenarnya saya terlalu egois dan bodoh, baru tiga bulan semenjak saya bersama dia, saya tak pernah tahu bagaimana bertindak sebagai seorang pacar yang benar seperti apa yang dia inginkan, dan akhirnya dia pun mulai berbohong dan berbohong ke saya, padahal saya tahu dia sedang bohong, dia tak berbakat dalam hal itu, dan saya hanya diam dan menanyakan ke dia

“lelaki seperti apa yang anda suka?”

“tak tahu…” jawab dia

“kenapa anda mau jadi pacar saya?”

“hehe tak tahu bang…”

Bahkan saya pun ragu kalau benar benar suka sama dia semenjak saya dan dia jadian, saya hanya senang sama dia karena dia senang mendengar cerita saya, dan mengapa pula saya mau membuka hati saya sama dia? Tak tahu, saya tak tahu. Pikiran dan perasaan saya berkecamuk, hingga akhirnya dia minta pisah saja, dan saya tanya ke dia

“kenapa? Apa saya pernah menyakiti anda?”

“tidak bang…”

“terus kenapa anda mau pisah?”

“tak tahu bang, kayaknya kita memang tak cocok…”

Saya pun diam, tak ada lagi kata kata yang ingin terucap, dia punya hak ingin berpisah dan saya bisa apa? Dan akhirnya kita pun berpisah, kenalan tiga hari, dan berpisah setelah tiga bulan bersama. Memang benar kata pepatah ‘penyesalah datang belakangan…”, dan ternyata saya jatuh cinta pada dia setelah kami berpisah. Dan kini saya bisa apa? Saya pun sempat mengajak dia untuk balikan beberapa minggu kemudian, dan bilang sudah tidak bisa lagi bersama saya, belakangan saya tahu dari teman saya yang juga sekarang sudah jadi teman dia kalau dia sudah tak mau lagi berpacaran sama orang yang sudah putus dengan dia. Perasaan dan pikiran saya pun mengajukan ide ide bodoh pada saya disaat alkohol sudah menguasai saya untuk mengirimkan dia surat yang isinya kira kira seperti ini

“saya ini seorang pembohong, cerita cerita saya semuanya cuman bohongan, dan hanya orang orang bodoh dan tolol yang mau mendengarkan cerita cerita saya, dan kalau anda suka berarti anda ini bodoh… Saya itu tak pernah percaya sama semua hal, agama pun tak saya percayai, apalagi anda… PS: tak usah dibalas”

lagi lagi penyesalan untuk kedua kalinya datang mengunjungi saya, kebodohan saya memang sangat bodoh diantara orang orang bodoh. Saya mengirim surat itu ke dia dengan maksud agar dia menjauh dari saya, dan kalau perlu tak usah menganggap bahwa dia pernah mengenal saya, walau memang sangat berat, tapi saya sudah terlanjur jatuh cinta pada dia, dan kalau dia sudah tak mau lagi dengan saya, mending sekalian menjauh dari saya, dia datang tiba tiba dan perginya juga sesuka dia.

Semenjak kejadian surat terakhir itu, saya pun mengalihkan perhatian saya pada segala macam hal yang bisa menyibukkan saya seperti; mencari kerja dan diterima disalah satu tempat kerja yang fokus ke bidang advertising dan saya kebetulan juga dapat pekerjaan yang sesuai dengan bakat saya yang senang menggambar, yaitu menjadi illustrator, walau saya bekerja cuma bertahan sebulan karena bosan kerja dengan orang lain, maunya memiliki tempat kerja sendiri atau paling tidak jadi freelancer. Saya pun mulai membaca buku buku yang menyita banyak pikiran seperti buku buku filsafat, seperti Mitesisifus dari Albert Camus, The End of Reason dari Jean Paul Sartre, Zarathustra dari Frederic Nietzsche, dan Manifesto Communist dari Mark & Angel, dan banyak lagi yang lainnya. Kegiatan lama saya yaitu melukis pun kembali saya jalani, adapun kesibukan lainnya seperti mencari info acara live music apa saja dan pentas seni dimana pun berada di kota ini pun saya jabanin, kembali rajin berkuliah, sampai ke acara acara wayang dan acara Koes Plus-an didaerah perkampungan pun tak jarang saya datangi, itu semua hanya untuk menenangkan perasaan dan pikiran saya. Itu semua untuk melupakan dia yang telah pergi.

Sedikit cerita tentang dia lagi, yakni kira kira tak cukup sebulan setelah perpisahan saya dan dia, dan dia pun mendapatkan pacar baru, hati saya mengambil alih diri saya dengan mengatakan “yah dia kan cantik, wajarlah mudah dapat pengganti, dan wanita kan banyak di dunia ini, dan lagian perjalanan anda untuk merantau masih panjang, sehabis dikota ini belajar, masih banyak tempat yang lain…”, pikiran saya pun menambahkan “tenang saja, ingat kata Shakespeare lewat sahabat si Romeo, si Benville yang bilang ke Romeo sewaktu melihat perbedaan besar antara Romeo dan Juliet, Benville si sahabat baik Romeo pikir kalau lebih baik jika mereka saling menjauh saja, walau Romeo sudah jatuh hati pada Juliet, ‘kamu gampang melupakan dia (Juliet) dengan cara membuka mata dan hatimu untuk wanita lain’, dan saya kira itu tak susah. Memang dasar teori yang sangat mudah untuk dikatakan namun sangat susah dilakukan. Tapi yang jelas akan saya coba. Dan lagian ini hidup cuma sekali, marilah membuatnya jadi banyak warna, kesedihan karena wanita hanya salah satu warnanya, masih ada ribuan warna lainnya yang menunggu untuk dirasakan di tempat perantauan lain nantinya.

Beberapa hari saya menyendiri dan bermeditasi dalam rangka berdamai dengan perasaan dan pikiran saya, hingga akhirnya perasaan dan pikiran bisa sedikit bisa menerima semua yang telah terjadi, dan pikiran saya pun berinisiatif mengajak saya untuk sekali lagi mengirimkan dia surat ke rumahnya, yang isinya kira kira

“Maafkan saya atas segala kebodohan saya, semoga anda senantiasa berbahagia dengan pilihan anda, untuk kebaikan kita berdua mending jika secara tak sengaja kita bertemu entah dimana, anggap saja kita tak saling kenal. Anda tak usah merasa tak enak atau apalah. Maafkan saya, saya memang aneh… semoga hidup kalian bahagia selamanya… PS: tak usah dibalas”

Sembari menyenandungkan lagu dari Bob Dylan – Blowing In The Wind “How many road must a man walk down, before you call him a man… dst.”, saya pun merasa agak tenangan sekarang, memang untuk menjadi seseorang, apalagi saya yang sedang mencari siapa diri saya, musti banyak jalan berliku yang musti ditempu.

Armstrong da Jimmy

Bantul Yogyakarta, Minggu 27 Maret 2011, 21:16