Sunday, May 22, 2011

Ini Semua Demi Ego


“Matahari tenggelam, hari sudah malam,

Terdengar burung hantu, suaranya merdu…”

Seroang anak lelaki di hanyutkan disungai berkat pertolongan seorang Ibu yang sayang pada anaknya, anaknya hendak dibunuh oleh penguasa yang sialnya telah menjadi suaminya. Berita itu di umumkan, dia seorang berkuasa, mendapat firasat buruk dari dukunnya yang berkata bahwa nanti akan ada seorang anak lelaki yang lahir di tahun ini yang akan menjatuhkanmu dari kursi kekuasaan, dan keluarlah perintah itu, perintah untuk membunuh semua anak kecil yang lahir di tahun itu. Kasihan? Dia sudah kalap, kekuasaan yang memberikan dia segalanya, dengan mudah mendapatkan apa yang dia inginkan dengan sekali perintah, ada yang menolak tak memberi apa yang dia pinta akan berujung terkapar sunyi dalam lumbung tanah, dia dapat memenuhi semua ambisi yang diinginkan membuat dia tak tahu menahu lagi apa itu rasa. Anak lelaki yang terbilang kecil diberbagai pelosok negeri tempat dia berkuasa di kubur hidup hidup, ada yang dipenggal, atau mungkin ada juga yang di tenggelamkan di sungai dan lautan.

Ibu itu, menyayangi anaknya, anak yang dikandung selama sembilan bulan, dibuai dan dimanja semenjak lahir dengan susuan dan ciuman yang tak hentinya dia berikan siang dan malam, hingga datang perintah berupa pengumuman dari suaminya sang pemimpin yang hendak membunuh semua anak lelaki yang lahir di tahun itu. Termasuk anaknya sendiri yang terlahir sebagai anak kecil. “Malang benar nasibmu anakku” ratap ibunda ketika menghanyutkan anaknya diatas keranjang dari anyaman rotan tahan air tempat anaknya tidur, menghanyutlah anaknya dibawa arus air, teriring tangis pedih ibunda yang tentu saja takkan pernah rela menjauh dari anaknya, tapi apa daya, daripada anak kecil tak berdosa merenggang nyawa, mending menjauh dan masih hidup walau tak tahu akan hanyut entah kemana. “Sayang ibu sepanjang masa anakku, semoga Tuhan itu ada dan menolongmu lewat perantara manusia lain, hingga kau besar nanti datanglah kembali ke Ibunda, ingat nak sayang Ibu sepanjang masa…”

Selang bertahun tahun berlalu, tak ada satu pun keraguan dari dalam diri sang penguasa akan nasibnya sendiri yang akan di taklukkan oleh seorang anak kecil yang mungkin setiap saat akan datang untuk menjatuhkannya dari kursi kuasa, semua anak kecil telah tertumpas. Tanpa sepengetahuannya bertahun tahun yang lalu, seorang anak kecil telah dihanyut ke sungai, anak kecil itu telah di temukan oleh seorang petani yang sedang memandikan kerbaunya di sungai, pertama yang melihat justru kerbaunya yang keranjingan, dikira si petani ada seekor ular yang datang hingga kerbaunya mengaum panik tak jelas, ternyata yang melintas adalah sebuah keranjang, ketika keranjangnya dia ambil dan keranjangnya diteliti baik baik, dia pun membuka kelambu yang menutupi keranjang itu, apa jadinya? Sontak anak kecil itu menangis ketika cahaya matahari menerpa wajahnya, dan tentu saja petani itu tak kalah kagetnya dan tak menyangka kejadian ganjil itu.

Tak ada cerita istimewa dan berbeda dari yang kita sudah ketahui dari berbagai macam cerita yang telah kita baca sebelumnya, termasuk apa saja yang terjadi pada sang raja dalam kurung waktu bertahun tahun selama dia menjabat menjadi penguasa, begitupula Ibunda sang anak yang anda sudah bisa mengira kira kira apa saja yang dia lakukan selama proses penungguan tanpa kepastian anak yang telah dia hanyutkan di sungai, atau bahkan apa yang dilakukan petani yang sedang memandikan kerbaunya disungai dan mendapatkan keranjak hanyut yang berisi anak kecil didalamnya. Semua cerita sama saja seperti apa yang anda bayangkan, seperti si penguasa yang masih saja memerintah sekehendak hatinya saja, untuk pemuasan keegoisannya, lewat kata kata yang belum jelas juga kebenarannya oleh si peramal sang penguasa menggiring tiap langkah langkahnya. Ada yang membangkang padanya dengan mencoba memberontak pada tiap keputusannya maka dengan mudah saja orang itu ditangkah oleh pasukannya dan kemudian di gantung di depan umum, membuat bergidik dan berpikir puluhan kali tiap warga yang dia kuasai untuk coba coba melawan perintahnya. Semuanya berjalan dengan tiap tindakan dari pasukannya yang nampak tak memiliki otak dan hati, sekali perintah turun langusng dituruti, tanpa dipikir logis atau manusiawinya perintah itu, mereka juga sudah terlanjur tergiur oleh gaji dan nama tentara kerajaan yang mereka dapat hingga mampu membuat segan rakyat biasa, ditambah ketakutan mereka sendiri pada tiap perintah penguasa yang jika mereka tak patuhi kepala jadi taruhan.

Sedikit berbeda buat Ibunda anak yang dirundung duka terus menerus selama bertahun tahun semenjak dia menghanyutkan anaknya, perasaan terluka yang semakin lama semakin membuat hati si Ibunda menjadi tak karuan, lebih besar kesensitifan dari perasaan si Ibunda membuat pikiran logisnya sudah tak berguna, tak ada lagi yang hendak dia lakukan selama bertahun tahun itu. Kurus selayaknya mayat yang masih bernyawa, hanya dua kemungkinan yang ditunggu yakni kematian dan kebahagiaan yang masih tak jelas, apakah anaknya masih hidup atau kah sudah mati ditenggelamkan arus air. Air mata Ibu malang itu telah habis, malah air matanya yang terkesan terpaksa keluar ketika bayang bayang wajah polos anaknya yang tak berdosa itu menggerayang di benaknya terpaksa keluar, air mata yang menyerupai darah, tak cair layaknya air mata manusia, tapi kental yang warnanya agak kehitaman. Kasihan? Anda takkan pernah bisa membayangkannya sampai anda merasakannya sendiri. Nampak gila kadang kadang Ibu anak tak berdosa itu, kadang tertawa keras sendiri ketika bayang anaknya yang tertawa kecil yang lucunya tak terkira saat dia kelitik manja datang menyergap di benaknya, namun tiba tiba lamunannya buram dan teriak tangis yang membahana mengganti adegan itu. Sontak saja para pembantu dan petugas keamanan di kediamannya bersama sang penguasa menjadi kaget dan prihatin. Ketika dokter kediaman yang tentu saja menyerupai kerajaan mencoba memeriksa penyakit apakah gerangan yang sedang di derita oleh istri sang penguasa maka nihil dan tak ada jawaban, ketika diajak berbicara pun, si Ibunda tetap bungkam, tak dapat berucap, mengunyah makan pun tak bisa, tenaganya untuk bangun dari tempat tidur sudah habis, untuk minum pun tak bisa, setiap mencoba minum atau makan pasti dimuntahkan. Tak beberapa hari kemudian Ibunda anak yang tak berdosa itu pun meninggal dan di makamkan secepat penduduk melupakannya.

Sedang apa yang terjadi pada petani itu? Sama saja, tak ada hal yang istimewa, sama seperti awal mula kehidupan dia yang telah memiliki 7 anak sebelum anak dalam keranjang itu dia dapatkan, tetap miskin dan melarat. Untuk makan lewat usaha pertanian, dimana pertanian hanya dua kali setahun panen, untung buat petani yang tempat bertaninya tanah dia sendiri, tapi malang buat petani kita satu ini, dia bekerja ditanah orang lain. Kerbaunya pun milik orang lain, gaji mengembala kerbau hanya seberapa, gaji menjaga lahan pertanian bisa dibayangkan hanya berapa pula, dengan 7 anak apakah anda bisa bayangkan bagaimana menghidupi mereka dengan gaji tak seberapa? Dan datanglah anak baru itu menambah beban hidup petani malang, dengan apa lagi dia hendak mempertahankan semua ini agar tetap hidup, dengan 7 anak ditambah satu anak lagi! Untung saja yang namanya petani atau kalangan bawah di masyarakat selalu saja menghadapi kehidupan dengan senyuman, menganggap segala hal pasti ada jalan dengan usaha, mereka hidup dengan kerja keras semenjak lahir, dan sekarang tentu saja tak patah arang semangatnya. “Hidup selalu menyenangkan ketika kita selalu berusaha untuk membuatnya nampak menyenangkan” kira kira begitulah prinsip hidupnya yang dia dapat dari ayah si petani, terpatri di benaknya hingga kini.

Kita selalu saja terbuai oleh cerita cerita yang berakhir dengan bahagia dan selalu merasa kasihan pada cerita cerita yang berakhir dengan kesedihan. Manusia terlalu perasa! Dan memang itulah kebenaran tentang manusia, seperti kata orang yang menyayangi manusia lain lewat tulisannya zaman dahulu yaitu “Tugas manusia adalah menjadi manusia”. Manusia memiliki dua hal, akal untuk berpikir dan hati untuk merasa, menggunakan pikiran agar bisa berguna untuk manusia lain, menggunakan pikiran untuk bisa mempertahankan kehidupan agar bisa tetap bersemangat menghadapi hidup yang serba tak terduga. Juga guna hati untuk merasa, merasakan segala macam hal yang terjadi didalam hidup, mengangis ketika sedih, tertawa ketika senang, dan sedih ketika hal hal mengenai kemanusiaan di langgar oleh manusia lain, senang ketika semua manusia saling menghargai kebebasan menjalani kehidupan yang mereka pilih, perasaan manusia adalah simbol nyata seorang manusia dikatakan seorang manusia, tanpa perasaan maka manusia tak beda dengan “Homo Homini Lupus” atau manusia satu adalah serigala untuk manusia lainnya, memakan hak hak hidup manusia lain, mengacuhkan hak hidup manusia lain. Banyak yang mati oleh satu orang manusia, sejarah telah menulis kenyataan bodoh itu, kenapa itu terjadi? Ini semua demi ego.

Apa yang terjadi pada anak kecil yang tak berdosa itu? Terpaksa di layarkan diatas keranjang untuk menjauhi kematian yang telah di ikrar oleh sang penguasa lalim nan bodoh. Si Ibunda malang tak bermaksud, justru kecintaan yang terlalu datang memaksa keadaan, Ibu mana yang rela anaknya dibunuh? Disitulah ada pilihan, pilihan selalu menjadi jalan, dan tak semua pilihan bagus, selalu saja didalam pilihan ada resiko, dan manusia memilih untuk mendapatkan resiko, resiko yang baik untung dan resiko buruk buntung. Anak kecil itu apa yang hendak dikata? Beruntung atau buntung kah? Mati atau mendapat kehidupan yang bisa saja mati kapan saja diatas keranjang yang dihanyut di sungai, atau mungkin hidup dengan keberuntungan yang tak jelas juga? Siapa yang tahu! Untung saja masih ada Tuhan. Tuhan bertindak selalu berbeda dengan apa yang diinginkan manusia, kenapa? Karena Tuhan saya rasa ingin mengajarkan manusia agar tak terlalu bergantung padaNya, Tuhan ingin melihat manusia berusaha sendiri, mencurahkan keringat dan usaha untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, Tuhan memberi restu dan manusia yang melaksanakan.

Anak kecil itu yang sekarang sering kita lihat di dalam televisi, kita tangisi karena kasihan terhadap dia, apa anak kecil itu senang di tangisi? Dia sangat membenci tangisan kita, dengan tangisan tanda peduli itu membuat mereka merana, merana karena anda mengira bahwa dia hidup tak bahagia. Apalah kehidupan bahagia itu, yang merasakan bahagia ada orang yang sedang menjalani. Dan saran saya, matikan televisi anda, televisi memaksa anda selalu saja kebanyakan menangis dan mengumpat tak jelas, mari membaca buku saja, pelajari sejarah.

Kasihan Bantul, 17 May 2011, 18:19