Monday, June 06, 2011

Verba Amini Profere



“lelucon yang membuat hati pedih, yakni mencoba membuktikan bahwa prinsip adalah kemewahan untuk hidup yang hanya sekali”

Kabut disekitar pesisir pantai mengawal imaji menuju entah apa namanya. Mentari belum jua nampak, menanti panas menghangat raga, dingin hembus angin menusuk bagai gigitan ribuan semut. Langit berwarna kelabu, tak ada keramaian kecuali ombak yang tak henti menderu, semu karang seolah berbisik cerita, cerita tentang hati seorang perasa. Malang nian nasibmu anak muda, bisik karang, kenapa pikiranmu tak mampu kau hentikan, yang nampak oleh matamu itu hanya ilusi, tak pernah aka nada jawaban untuk hal yang hanya melintas di bawah kuasa indramu, apalagi hanya mata! Tak hentinya bisikan itu ada dan terus ada, memutar kembali kenangan kemarin malam sebelum hendak menyepi di pinggir pantai. Puluhan burung walet berterbangan dilangit, melintas satu persatu begitu gesit, melawan irama hembus angin kencang, padahal kemarin mereka juga ada waktu petang, entah apa yang mereka lakukan, tak sempat kutanyakan. Aneh!

Ah kalian warga kalangan bawah, terus bekerja saja kalian, tak kenal lelah pula, padahal apa kalian sadar pekerjaan dan gaji kalian itu sangat membodohkan! Bayangkan dalam sehari berapa butir keringat yang kalian cucurkan, dan berapa gaji yang kalian dapatkan? Sebanding apa dengan tanda tangan pak lurah? Lihat di televisi kalian tak ubahnya seperti sepotong roti yang terus di bicarakan kegurihannya, padahal mereka yang mencicipi roti itu tak pernah tahu kalau sebelum jadi roti itu butuh banyak proses, dan proses yang paling tak diperhatikan justru yang paling mengharukan, yah itu tentang kalian hey kalangan bawah, kalian bekerja menanam gandum di ladang yang dulunya gersang, kalian aliri air dengan jeri payah kalian sendiri, kalian menamam beni gandung, mengairi, memupuki, menyiangi, dan kemudian kalian panen hingga berkarung karung, dan berapa yang kalian dapatkan? Sedikit! Dan kalian menerima gaji kalian yang sedikit dengan ribuan puji sukur pada Tuhan kalian, entah apa yang kalian pikirkan! Entah apa jadinya roti jika tak ada kalian! Hey para warga kalangan bawah, petani di ladang gandum yang dulunya gersang. Aneh!

Hidup adalah lelucon untuk orang yang selalu menggunakan pikiran, dan hidup adalah penderitaan untuk orang yang selalu menggunakan perasaan. Dan bagaimana dengan para buruh dan pekerja keras di perkotaan? Apa mereka menggunakan pikiran mereka? Lantas mengapa mereka masih saja bertahan hingga beberapa tahun, bahkan beberapa yang bertahan hingga puluhan tahun, apa pikiran mereka masih bekerja? Saya rasa tak berguna lagi, sudah tumpul pikiran mereka terdesak dengan kantong mereka yang sesak nafas. Bagaimana dengan perasaan mereka? Tak berguna lagi, tak ada lagi yang perlu disesalkan, sesal yang kelak dianggap sebagai sebuah penderitaan, semua berjalan apa adanya, jika yang ada hanya segenggam beras dengan lauk air garam dan kecap mau diapa lagi, mereka pun masih bisa makan diiringi dengan doa pada yang kuasa, pula diakhiri dengan senyum syukur ketika selesai bersantap dengan lahapnya. Kerja keras dengan gaji tak seberapa, untuk beli makan enak dalam sehari saja sudah susah, ditambah dengan kebijakan pemerintah, kebijakan pemerintah! Yang tak memberikan mereka belas kasihan, belas kasihan memberikan tunjangan sekolah gratis pada anak mereka, agar mereka bisa membaca dan menulis! Hey pemerintah sialan! Kemana mata kalian, terlalu berwarna birukah sekarang! Kemana perasaan kalian, terlalu bersikap layaknya pendahulu kalian yang biang korup itukah! Tahi kucing kalian! Aneh!

Barang siapa yang menolong saingannya adalah orang gila, itulah prinsip. Aha bodoh! Mana mungkin manusia dikatakan manusia jika tak memiliki perasaan, dengan perasaan akhirnya manusia tak dikatakan sejenis binatang, dengan perasaan akhirnya manusia tak dikatakan orang gila, maksud saya orang gila yang ada di rumah sakit jiwa. Perasaan manusia mana yang takkan sakit jika disakiti, dicaci maki sedemikian rupa, di perkosa, di injak harga diri dan kebanggaannya, tak dihargai, dan lain sebagainya. Manusia selalu ingin merasakan kebahagiaan dalam hidup, maklum manusia itu takut tak sempat merasakan kebahagian semasa hidupnya, karena ada kematian, karena kematian alasan yang logis untuk menjelaskan bahwa manusia ingin hidup penuh dengan kebahagiaan. Lantas mengapa musti saling menyakiti? Dengan alasan berbeda agama, berbeda uang yang ada dikantong, jabatan, dan berbagai macam tahi bengek lainnya, padahal sama sama manusia, sama sama merasakan sakit jika disakiti! Ah aneh!

Lihat itu di televisi, berapa banyak tangis sedih disana? Semuanya adalah tak lebih dari kesedihan, lantas bagaimana dengan kebahagiaan? Kemana mereka yang berbahagia? Kabur dengan korupsi uang rakyat, tertawa setelah menendang dan menggusur rumah rakyat, tidur lelap karena di rumah mereka banyak pembantu yang sekali berisik di pecat atau bahkan di bunuh, oh malang sekali nasib kalian orang yang tak memiliki harta kekayaan, harta kekayaan dari keturunan sebelum anda. Kasihan sekali hidup kalian yang tanpa perasaan, hidup lewat tenaga dan jerih payah bercampur peluh orang orang yang kalian pekerjakan dengan upah, memang mungkin saja kalian sudah pernah merasakan seperti itu waktu kalian masih melarat, tapi apa kalian sudah tak punya perasaan pada orang yang kalian pekerjakan? Apa anda ingin membalas dendam karena telah diperlakukan seperti itu sewaktu kalian masih melarat? Kasihan sekali hidup anda, tak hanya tanpa perasaan, tapi juga penuh dengan dendam, layaknya Iblis yang dendam pada manusia beragama pertama si Adam hanya karena Tuhan lebih menyayangi manusia yang tercipta paling sempurna dari semua ciptaanNya. Apa tak cukup aneh semua cerita ini.

Burung merpati tanda kesetiaan, mereka mengajar manusia agar bisa setia, setia itu wujud nyata dari perasaan. Pernah dengar cerita mengenai percintaan pertama antara Adam dan Hawa di surga? Maksud saya siapa yang mengajarkan mereka bercinta? Yah tentu saja Tuhan yang mengajarkan, tapi lewat perantara binatang, dan binatang itu anjing, anjing!

Tak cukupkah kita belajar dari binatang hingga kita dengan mudah berperilaku layaknya binatang? Kita ini manusia yang punya pikiran dan perasaan, pikiran dan perasaan, pekerjaan manusia adalah menjadi manusia, gunakan pikiran untuk berpikir tentang jalan dan cara agar kesejahteraan dan kebahagiaan bersama sama bisa dirasakan, sesama manusia. Gunakan perasaan untuk benar benar tanpa pamrih untuk bisa saling merasakan perasaan masing masing, membantu sesama manusia.

JNM Jogja, 6 June 2011, 16:02

Sunday, June 05, 2011

Musim

Dan akhirnya ada yang berulang tahun, tahun kemarin kembali dirayakan dengan perayaan yang sedikit berbeda dan dengan ucapan yang sama, selamat ulang tahun untuk siapa pun yang merayakan, hari kemarin lebih baik dari hari ini, tahun kemarin lebih baik dari tahun ini, semua berjalan seperti tiupan angin dari timur ke barat, bertiup dengan kencang sekencang roller coaster di pasar malam, tak ada yang menghentikan, karena memang kebahagiaan selalu diharapkan. Mentari belum juga bersinar, hari kemarin baru lewat dengan denting jarum jam yang telah leat 24:00, semuanya berteriak kegirangan, entah apa yang mereka maksud, mereka hanya berterriak penuh euforia dengan harapan agar ulang tahun mereka juga di hari mendatang juga dirayakan, dengan kue, dan dengan a[i yang menya;a diatas lilin.

Ah manusia bodoh, apa kalian tahu jikalau bertambah umur maka kematian semakin dekat menjelang? Kalian tak mau tahu, yang kalian cari dalam hidup hanyalah kebahagiaanj, kebahagiaam sesaat yang kan berakhir setelah tiupan lilin berakhir.

Tapi selamat menempuh tahun baru, untuk anda, dan untuk kalian yang merayakan.