Friday, June 19, 2009

Senyuman Tuk Labirin Waktu (Puisi)

Asalamulekum...


Menunggu... selalu saja ramai diikuti iring iringan kata terlambat dan selalu menyebalkan menggoyangkan ekornya di akhir jejak tiap langkahnya...

Waktu... kadang bahkan tak jarang kata acuh kudendangkan seakan mengejek berupa kata acuh ke daun kupingmu, dan kau tanggap dengan palingan wajah sembari kedua tangan kau lekatkan dengan ekspresi yang begitu angkuhnya...


Senyumku... melepaskan seolah rela dirimu yang telah berlalu tanpa seutas senyuman khasmu yang kau berikan gratis kemarin kemarin, dan diriku bagaikan sehabis menuntaskan sebuah karya diatas kanvas seolah hati tak apa apa karnanya...


Senyummu... Ohw dikau yang telah pergi jauh bersama orang yang telah mendahuluiku menggenggap tanganmu begitu eratnya di depan mataku sore itu, seperti malam yang datang memeluk sang rembulan saat bintang bintang menari ria saat mentari tidur dengan nyenyaknya...


Suaraku... Hanya mampu kulukiskan di atas seutas kertas tanpa ada manipulasi kebohongan yang mungkin terdengar begitu melangkolisnya...


Tulisanku... Sebaris tak sadar menjadi lembar, hingga begitu banyaknya kubercerita tentangmu dan tentangmu tanpa ada sedikit campur tangan dari mulutku, hingga kumenyadari kau telah memilih seseorang mungkin dikarenakan dirimu terlalu lama menungguku mengungkapkannya hingga seakan dalam mimpi kumelayang tinggi nan jauh dan terjerembab dalam ruang labirin waktu yang mungkin takkan ada habisnya...


Waktu... seutas senyuman untukmu sebelum dan sesudahnya, anggaplah aku terlalu naif tak mau dikalahkan olehmu, aku kan menjadikan dirinya seperti dinding tembok bercat putih dan diriku mungkin rela menjadi seekor cicak yang terus diam tanpa suara melangkah perlahan meninggalkan penuh jejak langkahku disana hingga tanpa ada sangkut paut mulutku berbicara sepatahpun tanpa ada sangkut paut olehmu waktu kelak di dinding hatinya...


Djendelo, The Armstrong


Walekumsalam...

Sunday, June 07, 2009

Rembulan Pun Tahu Mentari Muncul Menjelang Pagi

Asalamulekum...


Indahnya gemercik air terjun diatas pegunungan yang dihiasi bulir bulir embun yang masih terisa di pucuk daun bermahkotakan bunga dengan rupa penuh akan warna.

Pagi ini musim hujan pun datang, dan disini kumasih sendiri dengan kehidupanku yang menurut penduduk sekitar aneh. Senyumanku takkan luput kala berpandangan mata dengan para penduduk yang dengan sengaja ataupun tidak bertatapan mata saat ku melakukan aktifitas dengan berjinjingkan peralatan lukis di pundak dan sebaki ubi goreng tetangga yang tahu dengan jelas tujuanku menetap sekian lamanya di kampung ini. Disalah satu kampung yang dikelilingi pegunungan yang menjulang tinggi kelangit, tak kalah tingginya dengan gedung pencakar langit ala Amerika. Dengan menatapkan mata kesegala pelosok yang terlihat hanyalah hijau dan hijau. Pula disamping hutan yang lebat terhampar birunya danau. Tak jarang diriku terpaku oleh menyeruaknya warna warni pelangi sehabis hujan lokal datang bertamu. Dan disanalah diriku kehilangan dirimu.

Sabtu, dua tahun sebelum kepergianmu...

Kulingkarkan cincin perak buatan asli kampungmu ini dijari manismu dengan sumpah tuk menemanimu hingga ajal menjelang. Senyumanmu yang tak mampu kulupakan, dengan menghilangnya hampir seluruh bola matamu kala tersenyum membuatku semakin gemas hendak membelainya manja, dan tak ingin sedetik pun menjauh darimu. Kita telah berjanji tuk menyatukan hati kita yang diawali oleh sebuah persahabatan kala dibangku kuliah.

Waktu pertama kumengenalmu, nampak dalam anganku sosok seorang gadis kecil yang dahulunya sewaktu kelas 2 SD pernah singgah dalam dunia cinta monyetku. Dan setelah kuberanikan diri tuk bertanya padamu tentang hal itu, kamu malah menjawab dengan tangan berlenggok di pinggang.

"loh? ternyata kamu toh yang dulu sering nitipin wafer Superman di dalam tasku?"

Pertanyaan itu disusul oleh senyuman. Dan degub jantungku pun tak karuan kala itu, hendak meledak kiranya jikalau bisa. Dan memang waktu itu hanya satu tahun kuhanya bisa menatapmu dengan tatapan kosong layaknya anak kecil mengagumi manisnya gulali, namun kali ini perasaan itu memang semanis dengan paras wajahmu yang gulali pun serasa kalah manisnya.

Itu sekitar 25 tahun yang lalu di Sumatera, tempat dimana kumeminangmu dan melangkah mengalun bahtera rumah tangga di sebuah desa kecil dan terpencil dengan pemandangan indah salju abadi Gunung Jayawijaya sebagai pemandangannya, tepatnya di perbatasan Timika dan Jayawijaya, diatas sebuah gunung tinggi dan disebuah rumah yang berhasil ku beli dari pameran lukisku ke 14-ku di Jogja.

Waktu seakan semakin menyayat nyayat dinding perasaanku kala mengingatmu meninggalkanku dengan seorang anak laki laki yang kita beri nama Cicero Al-Gazali yang berarti Cecero seorang konseptor tentang paham Humanisme agar memandang manusia satu dengan lainnya lebih mementingkan perasaan ketimbang pikiran, dan Al-Gazali berarti berilmu pengetahuan yang tak terbatas.

Kini dia telah genap berusia 2 tahun, dan tak mampu kumenahan tangis kala memandang matanya kala senyum sangat mirip dengan indah matamu.

Kini kuketahui bahwa rembulan pun tahu mentari muncul menjelang pagi yang berarti syahduhnya rembulan yang menghilang ditelan waktu akan berganti dengan indahnya sang mentari yang terbit kala pagi hari menjelang. Rembulan itu dirimu dan Mentari kecil ini adalah anak kita berdua.

PS: Kusayang kamu... Dan selalu merindukanmu...


Walekumsalam...