“Don’t ever say that I never try, I trying hard to work it out,
I still didn’t understand when you come to take my hand,
If you got something to say, better to say it to me now...”
Seminggu berlalu begitu cepat hingga
tak terasa aku telah terbebas untuk sementara dari jejaring mimpi dan
kenyataan, yang aku pikirkan hanyalah apa yang terjadi dalam seminggu itu,
seminggu dengan dia. Seminggu sebelum bertemu dengannya aku merasa bahwa hidup
ini hanya ada aku dan mimpiku, kenyataan hanyalah kesempatan untuk membuktikan
keberadaanku pada sekitar, yaitu keluarga. Satu hal yang tak pernah kurasakan
seminggu sebelum bertemu dengannya adalah rasa dibutuhkan, siapa pun aku rasa
akan melupakan apa yang menjadi keharusan jika ternyata apa yang anda cari
adalah kebutuhan, kebutuhan yang dapat menghasilkan ribuan senyuman dan rasa
bahagia, kebutuhan yang membuat anda ingin agar tiap momen yang terjadi dapat
terekam jelas dalam ingatan. Namun, seminggu setelah kepergian dia, semuanya
luluh lantak layaknya seperti bangunan istana megah yang seketika melumer dan
mencair seperti es krim, keindahannya dan kemegahannya pun belum sempat
dinikmati dengan sepuas hati lantas hilang begitu saja.
Pikiran datang mengganggu, mimpi yang telah kubangun dari 7 tahun yang
lalu tiba tiba terlupakan begitu saja, serasa aku telah berselingkuh dan
mencampakkan mimpiku. Pikiran pun berkata
“Apa
kau sudah tak mau lagi mengejar dan membuktikan pada kenyataan akan mimpi
mimpimu itu anak muda? Mimpi yang tadinya hanya berupa benang kusut tak
berguna, hingga kau sulam menjadi sebuah pakaian yang layak dan enak untuk
dipakai. Mimpi yang tadinya hanya berupa sebongkah tanah liat tak terurus,
hingga kau sulap menjadi sebuah patung yang bagus dan mempesona orang yang
melihat. Kemanakah rencanamu untuk mengukir tiap hari langkahmu diatas karya?”
Bisikan itu terus menghantui, membuat bayangan yang semula kabur hingga
tampak menjadi semakin nyata, semuanya terjadi semenjak seminggu aku bersama
dengan dia. Aku bingung ketika hatiku pun ikut ambil bagian dalam perkelahian
antara aku dan pikiranku. Hati dengan kalemnya berkata
“Kau
sekarang tengah dilema, kau harus memilih antara satu, memilih dia atau
mimpimu”
Aku
duduk melamun, membayangkan ketika keduanya dapat kupertemukan, mempertemukan
dan kalau bisa mengakrabkan dia dan mimpiku. Membuatkan mereka berdua ada
diantara hati dan pikiranku. Namun ketika pikiran tahu akan rencanaku ini maka
dia pun menasehati dengan bijak
“Anak
muda, kau masih muda dan jalan yang hendak kau tempuh masih panjang dan
berliku, kau nanti akan sesekali terjatuh dan bahkan mungkin akan merasa begitu
senang hingga kau merasa dapat menyentuh awan. Tapi ingatlah, kedua hal yang
tengah kau rencanakan untuk dipertemukan akan begitu sulit untuk dipersatukan,
apalagi membuat keduanya berjalan bersama dibawah kendaliku sebagai pikiranmu
dan dibawah kendali perasaan sebagai perasaanmu. Namun yakinlah dengan mimpimu,
karena mimpimu takkan pernah mengecewakanmu. Dan bagaimana dengan dengan dia?
Apa dia takkan mengecewakanmu suatu saat nanti? Dan jika sampai dia
mengecewakanmu maka tak hanya aku sebagai pikiranmu yang kesusahan, sedangkan
perasaanmu yang sangat sensitif itu pun akan menjadi gila, dan yang paling
penting dari semua dalam hidupmu adalah mimpimu, mimpimu akan hancur lebur
menjadi debu. Pikirkanlah anak muda!”
Aku tak pernah tahu akan cinta seperti layaknya orang kebanyakan yang
begitu mudah mengungkapkannya dengan kata kata dan tindakan, aku hanya merasa
bahwa kebahagiaan itu melebihi segalanya. Karena satu hal yang manusia cari di
dunia ini hanyalah kebahagiaan, membahagiakan keluarga, sahabat, teman, dan
bahkan orang yang tak dikenal yang ada disekitar manusia tersebut. Aku dan dia,
dia yang selalu membuatku bahagia walau hanya seminggu bersamanya, dan setelah
seminggu berlalu semenjak aku tak bersama dia lagi, ada kekosongan yang
melenakan, membuatku merasa ingin menjauh dari kenyataan, ingin menjauh dari
tindak-tanduk pikiranku yang susah untuk dikendalikan, ingin menjauh dari
perasaanku yang selalu saja terlalu sensitif dalam menanggapi berbagai macam
hal. Aku hanya ingin berdua dengan mimpiku saat dia telah jauh.
Ada ketakutan waktu aku bersama dengan dia, ketakutan akan kehilangan
mimpiku. Berbagai rencana kuperbuat dengan begitu bodohnya hanya agar dia bisa
menjauhiku, namun ternyata yang kudapat lebih dari itu, dia pun membenciku
seperti benci siang pada malam yang tak pernah ingin bertemu.
Tapi
mimpiku takkan pernah meninggalkanku.
Untuk Retno
JNM, 20 Juli 2012, 14:55
JNM, 20 Juli 2012, 14:55