Friday, June 29, 2012

Affectus de Humanum


Rasa...
Mereka seperti lumeran coklat yang tengah meleleh perlahan membasahi adonan kue bolu, bau manisnya merebak membuat tiap orang seketika terlena dan imajinasi mereka melayang akan nikmatnya. Terka menerka mengenai rasa, melenakan serta mengenakkan, membuat raga seolah terhenti tuk bergerak, pikiran stuk ditempat yang tak jelas, dan mulut mungkin akan sedikit menganga karena tak tahu hendak mengatakan apa. Namun sudah selayaknya mereka lebih enak dinikmati lewat pandangan ketimbang mencoba untuk melahapnya seketika, karena pandangan akan menyimpan mereka erat dalam ingatan, dan mulut hanya membuat mereka hilang dan rusak hancur lebur serta kandas dalam lambung. Dari mata turun ke hati seperti kata pepatah, dan dari hati takkan mau pergi.
Mereka seperti burung cantik yang tengah terbang dengan gemulai di atas langit, menari narikan sayapnya ditegah alunan merdu suara angin, melambai lambaikan sayapnya pada awan tinggi seolah menggoda dapat menyentuhnya dengan mudah. Siapa pun akan terpesona, belum lagi ketika mereka mulai berkicau, menenangkan pikiran tiap siapa yang mendengar, memancing mulut untuk ikut menirukan, dan perasaan dengan sendirinya tersihir untuk kagum dan takjub walau tanpa disadari terlebih dahulu. Tapi lihat jika keindahan mereka dikekang dalam sangkar, membuat mereka seolah terpaksa untuk berkicau, memudarkan kesan kepakan indah sayap mereka ketika terbang, dan meluluh lantakkan citra mereka sebagai sebuah keindahan. Seperti kata pepatah bahwa keindahan bukan untuk dimiliki, namun untuk dijaga agar keindahannya tetap abadi.
Mereka seperti degradasi warna langit yang hanya nampak dari atas puncak gunung ketika matahari perlahan merebak cahayanya ke permukaan bumi di pagi hari, cahaya keperakan membawa hangat yang melebur buih sekat awan, memantulkan ribuan warna warni yang tak mampu diurai dengan kata kata, tak mampu dicerna lewat logika, pula hanya bisa dirasakan oleh sepasang mata satu orang saja. Hanya rasa penuh lena, takjub mata menguak keindahan, tak dapat disentuh atau pun dimiliki, mungkin hanya mampu direkam oleh ingatan, disimpan rapat dalam kotak spesial dalam hati. Ketika semua telah berakhir, matahari telah menetap diatas singgasana langit, hangat menjulur perlahan membungkus raga, keindahan lainnya pun terhampar di depan mata, hijau pohon, kelabu batu gunung, cokelat tanah, dan ribuan warna lainnya dihidangkan seolah menjadi pengganti sarapan pagi. Cerita ini mengingatkan pada pepatah yang mengatakan semua hal takkan pernah menjadi nyata dan hanya akan menjadi bualan jika tak dilihat langsung oleh mata, tak dirasakan langsung oleh pikiran dan perasaan.
Mereka seperti debur ombak di pinggir pantai, membisik telinga tentang berbagai cerita dari daratan seberang, menggelitik sukma ketika desiran ombak merembes di pasir pinggir pantai, merentankan pikiran serta perasaan ketika gelombang besarnya menghantam kokohnya karang. Hingga rumput, nyiur, dan ilalang pun hanya bisa mengangguk ketika mereka menyapa. Membuat para pemandang hanyut terbawa arus angan angan, melambungkan mimpi dan cita cita, seakan menyadarkan diri bahwa dunia begitu luas, masih ada begitu banyak cerita di ujung laut sana. Seperti nenek moyang kita dahulu kala, mereka mengarungi mereka dengan kapal kayu tanpa ada rasa takut sedikit pun, tekad mereka seperti baja yang di tempa dari besi yang jatuh ke bumi lewat perantara komet. Seperti pepatah hidup mereka, sekali layar mengembang maka pantang raga pulang haluan, meski rangka kapal hanya tinggal layar.
Bagaimana dengan rasa yang ada didalam sana, didalam dada yang memekar ketika senang, melayu ketika bersedih, tak mampu ditebak pula tak ingin ditaklukan dengan mudah. Mereka mengendalikan raga seolah mereka adalah tuan, memekik ketakutan ketika ada keraguan, menyombong diri ketika ada pengetahuan, tapi siapalah diri jika ternyata mengetahui serta mengendalikan rasa pun tak bisa, hendak membunuhnya malah hanyut dalam penyesalan tanpa henti. Menangislah kau sekarang dimakan sepi, dasar bodoh karena memilih menjadi seorang penyendiri.
29 June 2012, 12 59, West Ringroad Yogyakarta

No comments: