Tuesday, July 12, 2011

Sandiwara

Ditengah hirup pikuk kota yang tak pernah merasa lelah ini, deru ban kendaraan berpacu dan bergumul menjadi satu dengan aspal, desah mesin menyatu dengan berbagai macam bunyi, kesemuanya bermuara pada satu hal, yaitu tanda kehidupan. Ketika pertanyaan ada jawaban, ketika diskusi ada ilmu baru yang akan didapat, ketika diam membisu hanya akan ada beban, yaitu pertanyaan yang kian lama kian susah dan tambah hebat, dan lahirlah kebodohan.

Aku dan kawanku sedang ada ditengah ini semua, dan kami tak bisa mengelak, kami nikmati saja semuanya, ada pertanyaan kita cari jawaban, karena sesungguhnya tak ada jawaban dari pertanyaan yang benar benar betul atau betul betul benar, dan tak ada yang benar benar salah. Hanya waktu yang pasti, dan yang paling pasti dari waktu adalah kematian.

Mentari masih lama kan menjelang, hangat mentari siang tadi juga masih ada disekitar, cahaya rembulan sebentar lagi pas berada diatas kepala, hujan tak datang bertandang hari ini, bintang bintang pun entah pada lari kemana, sepi langit tanpa bintang, kawanku sudah tak tahan dari tadi menahan cerita, dan muntahlah kata kata itu dari mulutnya seperti gasing yang sedang berputar.

“yang namanya panggung teater yah kerjaannya musti bersandiwara lah, nanti kalau sandiwarannya tak mampu dinikmati penonton yah bukan teateran namanya. Tapi ngomong ngomong sebenarnya dunia nyata ini mirip panggung sandiwara loh, contohnya orang orang pada pandai menggunakan peran yang seolah sedang bermain diatas panggung, padahal keadaan mereka sedang berada di pasar, merekanya saja yang tak sadar kalau mereka berakting seperti halnya para pemain sandiwara atau teater berakting…” ungkap dari kawan saya yang begitu kritis menanggapi hal hal kecil yang terjadi disekitar kita, mau sedang menonton teater kek, atau sedang berada dimana pun kapan pun selalu saja dia menanyakan hal hal semacam; apa, dimana, kenapa, bagaimana, dan untuk apa. Saya sebagai seorang kawan yang merasa cukup baik, selalu meladeni dia dengan tanggapan yang tak kala kritis yang diselingi logika.

“iya iya, saya mengerti kawan, sekarang pun saya dan anda ini sedang bermain teater kok, sayangnya tak ada penonton, dimana peran penonton yang selalu ada kala pementasan teater berlangsung, kalau tak ada penontonnya yah sama saja kayak sedang mengobrol biasa, kayak di pasar itu…”

“ah, bukan itu maksud saya. Dunia panggung dan dunia nyata itu sama saja kawan, mau lihat penontonnya? Sutradaranya? Penata lighting-nya? Atau artistiknya juga?”

“yayaya saya bisa menangkap maksud anda, kita pakai contohnya pasar saja, dimana ada proses tawar menawar harga antara penjual dan pembeli, si pembeli dan penjual menjadi aktor, dan orang orang lain yang berada dipasar itu menjadi penonton , bahkan kita pun bisa menjadikan para pemainnya disamping jadi aktor juga menjadi penonton. Sutradaranya, yah sama halnya dengan panggung teater sutradaranya tak terlihat, dan sutradaranya itulah yang kita sebut Tuhan. Sedangkan untuk penata lightingnya, disamping Tuhan juga yang memberikan instruksi lewat matahari jika itu siang hari atau lewat bulan dan bintang bintang jika itu malam hari, atau bahkan yang memasang lampu dipasar juga menjadi penata lighting lewat arahan kasat mata dari Tuhan. Dan tim artistik panggungnya pun sama halnya seperti penata lighting, lewat perantara sutradara yang sama sama kita sebut Tuhan…”

“benar kawan, anda memang orang yang selalu sehati dan seotak dengan saya dalam pembahasan apa saja, sama halnya dengan pembahasan mengenai sandiwara ini. Tapi saya ingin mengetahui jawaban anda lewat pertanyaan saya ini, lantas bagaimana menurut anda dengan sandiwara yang terjadi di panggung atau pun di kejadian nyata, apa tiap gerakan dan tutur kata mereka itu memiliki makna? Dan bagaimana caranya untuk mengerti makna tersebut? Masalahnya sampai saat ini, saya dan mungkin anda juga pasti sering mendapatkan kendala satu ini, meneliti tiap gerakan dan tutur kata kata mereka yang sedang bermain, bagaimana?”

“haha pertanyaan anda sangat sangat berat! Anda coba menanyakan atau coba melogikakan tiap gerak dari para aktor yang tengah bersandiwara yah! Mungkin kalau ditiap gerakan diatas panggung saya bisa tapi mungkin hanya sedikit, itu pun jangan sekali kali anda kira saya ini sudah jagoan, saya ini cuma dapat dari banyak baca saja, dan itu pun baru sangat sedikit. Tapi sangat beda halnya kalau sandiwara di dunia nyata, itu sama halnya dengan mencoba menganalisa tindak tanduk Tuhan pada manusianya! Hahaha, kehendak Tuhan itu sangat sungar dimengerti kawan, cukup dipercayai saja. Di Buddhisme ada dikenal Yin Yang, atau keseimbangan antar apa yang dilakukan dan apa yang akan didapatkan, contoh sederhananya orang melakukan hal baik akan mendapatkan hal baik juga, melakukan hal buruk akan dapat hal buruk juga yang sama. Di Islam ada Qada’ dan Qadar, sebenarnya maksudnya sama saja dengan Yin Yang, tapi karena memang anehnya kenapa tiap agama selalu saja ada perbedaan dalam penyebutan dan kemudian lama kelamaan di buat seolah tak ada samanya sama sekali, padahal sama saja artinya, makanya saya tak mempercayai satu agama pun, percaya sama Tuhan saja sudah cukup.”

“sudahlah jangan singgung tentang agama, kita bahas tentang sandiwara saja, semua agama di dunia memang sangat aneh dan malah kadang tak masuk akal. Sudah cukup menarik, silahkan dilanjutkan…”

“oke oke, jadi ketika bersandiwara di atas panggung, maka kita pertama tama mengerti judul pementasannya, karena semua gerak akan berpusar pada judul pementasan, walau kadang kala seperti layang layang sih, yaitu kadang diulur hingga jauh ke atas langit dan kemudian di tarik lagi, cerita di dunia sandiwara selalu saja terlalu sastra, mengapa? Yah tentu saja karena basic dari bahasa lakon sandiwara adalah bahasa sastra. Dan mungkin juga penguatan cerita lewat lighting dan artistik akan begitu mendukung terjadinya sebuah cerita dengan tujuan menarik minat para penonton agar tak berpaling sedikit pun dari panggung, dan ini kayaknya yang paling susah dilakukan, jadi kadang lightingnya kurang mumpuni untuk menggambarkan sinar matahari, atau pun ke realistisan artistik panggung yang kurang memadai hingga kesan cerita tentang sandiwara pun kurang terasa nikmat dinikmati. Tapi yang namanya panggung sandiwara harus diberikan apresiasi buat semua penonton, mengapa? Yah karena mereka coba menggambarkan ulang adegan yang sebelumnya hanya Tuhan saja yang melakukannya. Luar biasa kan sandiwara itu!”

“ya mengerti, jadi anda memang seorang yang teliti dan super serius untuk memandang segala macam hal, makanya anda mengerti!”

“apa anda memuji saya?” kata saya tegas dengan penekanan tak suka dan ekspresi yang tak mau menerima.

“yah, saya coba untuk memuji anda, apa anda tak suka di puji? Mengapa?”

“cukuplah Tuhan saja yang di puji kawan! Kalau manusia yang di puji pasti akan sombong! Kalau manusia di puji pasti akan bersikap seolah sudah diatas angin, seolah dia itu agung, persetanlah dengan segala pujian, saya tak suka di puji…”

“haha santai lah, inikan cuma pujian dari kawan satu ke kawan lainnya…”

“saya ini bukan apa apa untuk di puji kawan, saya masih banyak hal yang musti dipelajari, kalau sudah dapat pujian duluan dan saya menerimanya maka besar kemungkinan saya akan malas lagi untuk belajar, karena sudah merasa hebat nanti. Haha! Anda kan kawan saya, jadi kalau saya lagi menunjukkan apa yang saya kira saya bisa, maka tak usah di puji, cukup dimengerti saja dengan senyuman, dan saya akan senang sekali! Kita kan kawan!”

“hmmm, anda memang aneh, bodoh, sekaligus jenius! Saya senang jadi kawan anda…”

“kita sekarang ini hanya bersandiwara, sandiwara yang ditulis dan disutradarai langsung oleh Tuhan… mari kita puji Tuhan dengan cara kita masing masing…”

“yah! Mari kita memuji Tuhan”

Cerita belum berakhir, hanya satu cerita dari ribuan cerita yang selesai, dan dua botol terlarang versi berbagai macam agama pun kami angkat untuk chers, dan melanjutkan minum hingga pagi menjelang dengan ditemani asap dan cerita cerita.

Selesai

Yogyakarta, 31 Maret 2011 – 00:33

Wednesday, July 06, 2011

Sepuluh Tahun Setelah Hari Ini


“Cerita ini bukan untuk kalian tapi untuk orang orang yang hidup sepuluh tahun kedepan, bukan untuk kalian yang hidup semasa dengan kehidupanku sekarang ini, kalian yang selalu tak sepandangan denganku dengan beribu macam alasan yang tak selaras, seiya dan sekata denganku, memang kadang kita butuh memegang teguh jalan pikiran kita sendiri, memang kadang kita tak butuh masukan dari orang lain, tapi hidup terus berjalan meningglkan tiap orang yang tak ingin melangkah, tapi hidup itu tak hanya untuk masa ini, dan disamping itu apa yang bisa kau lakukan di masa dimana orang orang mengatakannya sebagai masa muda, maka jangan biarkan rasional dan aturan menjadi batu sandungan masa muda…”

Semuanya sudah nampak berbeda, raut wajah yang dahulu selalu buram kini penuh canda dan tawa. Tak takut lagi kau menatap langit yang dahulu ketika cahaya mentari bersinar menerpa wajahmu maka menggigillah sekujur tubuhmu, entah mengapa waktu itu kau tak mau bercerita tentang ketakutanmu itu. Selang sepuluh tahun kemudian baru kutahu matahari membuatmu buta terhadap hidup yang tak selaras dengan pikiranmu hingga kemotonan hidup mencekikmu dengan laku hidup normal yang dibanggakan orang orang disekitarmu. Engkau bilang waktu itu bahwa mereka yang pergi bekerja ke kantor dengan pakaian serba rapih dan miskin warna, pakaian serba kain, kemeja dan celana berbahan dasar kain, dan tak lupa pencekik leher bernama dasi. Engkau mengasihi mereka, mengatakan bahwa mereka bekerja seolah tak lagi mempunyai pikiran dan perasaan. Padahal kau tak pernah tahu bahwa hidup itu memang tak terlalu membutuhkan pikiran dan perasaan, mengapa? Karena hidup ini bukan hanya untuk dirimu sendiri, pikiran dan perasaanmu itu untuk dirimu sendiri, dan selain itu apa yang ada pada dirimu, meski kau tak ingin memberikannya pada orang lain, tetap saja musti kau berikan, penampilanmu musti setara dengan orang yang ada disekitarmu, untuk apa? Agar orang yang ada disekitarmu tak merasa canggung dan menganggapmu sama saja seperti mereka, kalian bekerja bersama, kalian mencari pengalaman dan materi untuk kehidupan orang yang anda tanggung, seperti anak dan istri atau mungkin keluarga yang ada banggakan.

Rambut panjang sebahu, cambang melingkari menangkup dagu, pakaian serampangan kau pakai tanpa ragu, dan apa lagi cara hidup anda seolah jauh dari kesan tahu malu. Itulah gambaran singkat tentang kau sewaktu masih muda dulu, sewaktu pikiranmu kau tuang dalam tiap lembar tulisan dan karya karyamu. Kau serasa menjauh dari orang orang disekitarmu, tak ada sapa, senyum, dan kesan ramah, sialnya anda juga tak punya kawan. Kau menganggap tahu semua yang akan terjadi waktu itu, memangnya siapa kau? Kau menganggap dirimu Tuhan? Atau mungkin paranormal dan dukun? Lihat dan rasakan apa ada orang yang betah berada disekitarmu? Dan entah apa yang membuatmu berubah sekarang ini menjadi tanda tanya yang sangat besar untuk orang yang mengenalmu, maksudku orang orang yang ada disekitarmu waktu kau muda dahulu. Kini lihat tampangmu yang tak henti mengulum senyum, tiap ada orang yang pernah bertemu sapa denganmu kau sapa dengan sapaan yang tak terkira, malahan kau mengajak mereka untuk sekedar mencecap segelas kopi di kafe terdekat, disana kau bercerita tentang segala macam hal agar orang itu bisa merasa nyaman dan akhirnya nanti memaklumi mengapa kau sangat aneh waktu muda dahulu. Kau mencoba memperkenalkan siapa kau, mencoba untuk meminta maaf secara tak langsung akan kecongkakanmu waktu muda dahulu, kau menyesali semuanya dengan senyuman dan tawa. Aneh memang hidupmu, tapi jika nanti ada orang berakal yang mendengar kisahmu akan mengatakan dan melakukan hal serupa sepertimu, mereka akan mengangguk mengiyakan bahwa hidup memang butuh banyak warna, agar nantinya ada wadah semacam cermin untuk mengulang kembali tiap lembar cerita kehidupan mereka, mengingat pepatah lusuh dan kumal bahwa hidup ini memang butuh banyak pengalaman, karena pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup.

July 4, 2011, Krebet, Bantul