Wednesday, March 31, 2010
The Early Morning Babble
The old man with a cane propped on his hands so as not to headfirst fall to the ground while a voice over the hum in his mouth as like to sing some song either, but it was presumably he could no longer sing a melodious and as exciting as when he is still young man, briefly recalled memories knocked on his mind "fitting myself so likewise the future like an old grandpa who passed just now, go ahead of the death was old age will come true, if we were not die young ..."
The morning sun haven't come to shine, ah very noisy the bustle of the highway on this morning, what a busy day and where they will be go, looking for life may be? Ah yes they are looking for a bite of life with a fist drenched in sweat profusely out of their pores to pore myself feel alive today, for the sake of the family and for the future lives complicated and full of surprises meander will be matters that suddenly all coming like the time of a maze box.
"Where are you going to go with four bags safari uniform, complete the same with the eagle emblem on the chest, was like a father Umar Bakri, just when about to go teach ..."
Greetings sarcastically late morning more like wailing voice-driven of the table above fractions asbestos, almost without tone and intonation, well the name is sarcasm. Returned by a friend who felt "Ah, you just take care of your mind, take them duel and decide who will wins, and the winners are the considered as the lord of yourself"
"Oh you think I'm crazy!"
"Perhaps you are overly sensitive my young man, the narrator habits often solitary and had a sensitive levels above average is already inherent in you"
"Needless to say, if the tellers are able to rhyme the word heart in writing"
"Well come on, let's tell the others. One does where you are today? Are there other activities besides looking for a needle in your ID and a haystack of life, or to find the heart where the harbor of the poem and rhyme?"
"Hmmm seems to look for heart today and tomorrow, but tomorrow is not just a rhyme rhyme harbor, but the harbor of love and dreams ..."
"Ah you say the word sounds corny my friend ..."
"Hahaha do not have to be taken dizziness is a friend, my only one narrator, to be heard or risk humiliation well which always greeted with a smile ... The story tellers would not swallowed the time ..."
Yogyakarta, 31 March 2010
Saturday, March 06, 2010
Ikan Kecil (Roman Absurd)
Didalam sebuah kolam kecil itu, dengan air keruh yang terlihat begitu hijaunya bak menyatu dengan jutaan lumut yang telah terurai, hingga saat kusentuh airnya begitu kental dan bau amisnya menyeruak membuatku mual dalam sesaat dan segera berlari lari kecil menuju ke air pancuran didekat kolam itu yang nampak lebih jernih tuk menyeka tanganku yang baunya tak tertahankan.
Seketika sejuk air yang masih jatuh perlahan membasahi sekujur tangan hingga lenganku, jemariku pun ambil ulah dengan tak henti hentinya menjentikkan air itu kemana mana, begitu terlanaku pada air jernih ini, pikiranku pun seketika melayang mengingat masa balitaku dulu, 15 tahun yang telah lalu.
Sewaktu balita, betapa cintaku pada air waktu itu, hingga kini pun begitu.
Hingga saat itu musim hujan telah tiba, satu persatu rintikan hujan jatuh perlahan tapi pasti dari langit mengundang ketertarikanku yang tengah diliput rasa ingin tahu yang menggebu gebu, dan seketika rasa penasaran berbalut kegirangan yang terpancar dari raut wajahku tanpa berpikir panjang langsung keluar kepekarangan rumah sembari membuka semua pakaianku satu persatu hingga nampak tak jauh beda dengan kerbau yang sedang berlumuran lumpur di sawah, dan tentunya telanjang bulat.
Tapi, waktu itu kan masih dalam ruang lingkup kanak kanak mana sempat memikirkan ataupun merasakan tentang adanya malu. Maka terguyurlah aku ditengah buraian air hujan yang menjatuhiku satu persatu dengan begitu manjanya. Ku menari nari berputar putar tak jelas arah dengan menyanyikan sepatah lagu twinkle twinkle little star how I wonder what you are berulang ulang. Bagaimana tak kuhafal lagu ini, jikalau hampir tiap pagi hari siaran tv nasional dinyanyikan oleh seekor komodo berperut buncit dan berwarna hijau, dan saat senang seperti ini dengan spontan kulantunkan perlahan lagu ini. Hingga tak sadar rapuhnya kakiku tersandung batu dan terguling guling di kubangan air hujan yang telah menyatu dengan lelehan tanah, membentuk sebongkah lumpur cair kecoklatan, membuatku nampak seperti adonan kue coklat yang siap masuk dalam oven. Namun ini tak membuatku gentar apalagi menangis, malah justru membuat ulahku semakin menjadi jadi. Sekujur tubuhku yang telah terselimuti kubangan lumpur terlihat begitu menikmatinya, apalah kebahagiaan terpenting buat anak kecil selain tertawa walau terliput banyaknya kekangan aturan dari keluarga yang melarang ini dan itu, dan tak lupa waktu itu gelak tawa kebebasan kudendangkan. Ku telah lupa diri sesaat! Dan sekali lagi, mana sempat ku memikirkannya!
Apakah masih ada yang lain yang dibutuhkan manusia selain kebebasan dalam kebahagiaan.
Namun malang tak bisa ditangkal. Kebebasan, kebahagiaan waktu ku balita hanya bersifat sementara. Dan seketika lenyap tawa bahagiaku, lenyap sudah nyanyianku, lenyap pula kebebasan yang saat itu masih tak tahu apalah artinya kata itu, lenyaplah semuanya berganti jerit tangis tanpa henti yang terus menerus ku teriakkan dalam kamarku, tak lupa mengacak acak seluruh isi kamarku yang pintunya dikunci dari luar dengan begitu gemasnya, seprei dan selimut kuhamburkan kemana mana dengan rasa kesal yang amat mendalam, seluruh pakaianku yang tertata rapih dalam lemari yang di urut sesuai warna dan bentuknya oleh Bunda kukeluarkan hingga berserakan tak karuan memenuhi seluruh lantai kamarku berbagi tempat dengan seprei dan selimut.
Kesenanganku saat itu telah direnggut oleh rasa cinta kasih Bunda akan kesehatanku nantinya, yang berujung dengan jeweran yang sebenarnya tak begitu sakit sakit ketelingaku dan diikuti dengan tamparan lembut berulang kali kepantatku yang waktu itu masih berlumur lumpur yang membuat pakaian Bunda kotor juga dan pula tak tertutupi sehelai benang pun. Digiringnya ku ke dalam kamar mandi dan diguyurlah aku dengan air dari timba berulang ulang hingga nampak bersih kembali, dan sesekali air mengalir masuk kedalam mulutku yang terusan bernyanyi tangis, kemudian ku dimasukkan ke dalam kamar dan memakaikanku piama tidur, kemudian mengunci kamarku dari luar, agar tak kembali melakukan hal bodoh yang telah membuat Bunda khawatir.
Tangisku pun telah terhenti seiring gema suara adzan magrib yang memekak dari mesjid samping rumahku yang kemudian di susul berhentinya denting hujan yang mengetuk perlahan diatas genteng genteng rumah yang kulihat dari sela tirai gorden jendela kamarku di lantai dua yang pintunya terkunci dari luar.
Saat keberbalik arah menuju saklar untuk hendak menyalakan lampu kamarku, karena gelap malam mulai merangsek masuk kedalam kamarku. Seketika seolah tak sadar dengan apa yang telah terjadi kumerasa tak mengenal lagi di mana aku sedang berada sekarang. Apa yang terjadi dalam kamarku! Seruku dalam hati yang lugu dicampur bimbang. Seraya tersenyum kecut mengingat kembali beberapa menit yang lalu saat kekhalafanku kambu, ku katakan betapa bodohnya anak yang melakukan ini dan memukul pelan dahiku. Kamarku kali ini tak jauh berbeda dengan kamar milik Kapten Hook dalam film Peterpan yang telah kutonton lima kali, karna begitu tertariknya aku pada tokoh Petepan yang tak ingin merasakan jadi anak dewasa. Malah jika dilihat lebih jelas kamarku mirip dengan kapal pecah dan karam ketengah lautan mirip di discocery channel siaran favorit Ayahku yang mantan anak buah kapal waktu mudanya.
Entah mengapa dengan sendirinya naluri dasar diriku yang di samping rajin menabung di celengan plastik berbentuk ayam, ku juga suka dengan kerapian, tentunya sangat berbeda saat ini. Maka mulailah kurapikan seluruh isi kamarku yang telah kuhafal betul tata letak dan susunannya di karenakan Bunda selalu mengajakku membantunya tuk sekedar melipat baju dan merapikan tempat tidurku dan pula dari bayi hingga kuberanjak naik kelas 2 SD ini ku telah menempati kamar ini, di dalam kamar kecil berukuran 4 x 4 dengan warna biru tua yang mendominasi di antara tembok, lemari, gorden, hingga jendela dan pintu, bahkan seprei, selimut, bantal, dan pakaianku pun ternyata rata rata berwarna biru. Dan ini semua dikarenakan waktu kecil dulu aku suka sekali warna biru, begitu pun Bunda yang kurasa sangat dekat denganku diantara ke tujuh saudaraku yang lain, walau kenyataan kadang berkata sebaliknya. Warna biru hingga kini pun masih menyimpan begitu banyak misteri bagiku, dan ketertarikanku padanya bukan dari materi sekarang, namun pada hal hal yang berwarna biru seperti langit cerah yang berwarna biru, pula warna biru ini yang membuatku jatuh cinta pada hujan hingga saat ini.
Biru langit yang cerah, bermahkotakan putihnya awan yang seolah berjalan kesana kemari diatas langit berganti kemelut awan hitam yang datang tiba tiba membumbung berkumpul menjadi satu menutupi seluruh warna birunya langit, menutupi sinar terang sang mentari, perlahan menjatuhkan titik demi titik airnya keseluruh permukaan bumi, bulir air yang menggenang perlahan membentuk kubangan disana sini, dan membuatku tersenyum lebar seketika itu entah mengapa. Kurasakan dalam tiap kesendirian saat hujan, seakan hujan bercerita tentang tiap bulirnya yang terjatuh membentuk bulatan, yang jika dilihat tiap sisi dengan pandangan membelanya menjadi dua seakan bulir hujan itu memberikan seutas senyuman yang melebar hingga terbentur pada bulatan lain yang juga ikut tersenyum. Senyuman balas senyuman kataku dalam hati.
Dari sekitaran tempatku berada, suara suara kodok mulai berisik dengan nyanyian mereka yang tak kumengerti, mirip dengkuran Ayah saat tidur malahan. Dan nyanyian kodok semakin memperseru genderang riang bulir hujan yang mengetuk satu persatu di atas genteng rumahku.
Kembali ke ikan kecil di dalam kolam yang keruh dan berwarna hijau, ikan ikan kecil itu berenang renang kesana kemari di depan mataku sore ini di sebuah taman berhias hijaunya rumput hijau disekitarannya dan beberapa pohon kelapa disamping sebuah jalan setapak dari kumpulan batu batu krikil kecil di taman kampusku. Di sekitaran kolam taman pun terlihat beberapa anak kecil yang sedang mencari botol botol bekas dan memasukkannya kedalam karung yang dijinjingnya di pundak dan sesekali mereka saling lari lari kecil mengelilingi kolam dengan riang gembira, seolah tak ada masalah dalam hari hari mereka selama ini. Dan aku yang sendirian kala itu hanya memandang sekeling dan sesekali memandang mereka, dan ikan ikan kecil itu, tampak sedikit kemiripan diantara mereka, ikan ikan kecil dan anak kecil berjinjing karung di pundaknya.
Pula, disisi lain tak jauh dari kolam, tepatnya di belantara hijaunya rerumputan nampak rombongan mahasiswi yang berpenampilan begitu muslimahnya sedang berdiskusi seru tentang sesuatu, dan nampak dari ekpressi mereka satu persatu yang begitu khidmat mengungkapkan argument mereka tentang sesuatu yang tentunya menjadi tema diskusi merek, entah apa itu.
Tak jauh di samping dari tempatku berada, ada pula beberapa mahasiswa yang juga tak mau kalah seru berdiskusi tentang sesuatu, sesekali mereka tertawa bersamaan dan sesekali hanya satu yang tertawa, dan sebagian dari bahan diskusi mereka diakhiri dengan tawa dan tawa. Entah maksud dari tawa itu untuk mempererat jalinan pertemanan dari mereka, ataupun untuk tak menyinggung perasaan kawan yang berargumen namun jauh dari pokok pembahasan. Tak tahulah aku.
Dan aku sendiri, sembari menghisap dalam dalam sebatang rokokku sibuk memperhatikan sekitaranku sambil sekali kali menatap serius ikan ikan kecil yang terus terusan mondar mandir kesana kemari di dalam kolam berair keruh dan berwarna hijau didepanku. Sedikit ibah rasa dalam hatiku melihat ikan ikan kecil itu yang tak bisa merasakan kebebasan berenang keluar dari kolam kecil itu, terkekang ikan ikan kecil itu didalam kolam yang terbuat dari tembok yang di satukan dengan krikil krikil kecil seukuran kepalan tangan anak kecil. Hanya terdapat sebuah jembatan kecil yang membelah kolam itu, nampaknya sebagai pemanja mata manusia memandang kola mini agar sekiranya terlihat lebih indah, pula ini sebagai salah satu upaya pihak kampus tuk membuat mahasiswa mahasiswi agar tak bosan berada dikampus, walau hanya disekitaran kolam saja. Dan dijembatan itulah satu satunya tempat berteduh ikan ikan kecil dalam kolam yang bagiku sangat kotor dan bau ini, tempat ikan ikan kecil itu berteduh dari sengatan terik mentari kala siang hari dan gigil udara saat malam hati.
Begitu malangnya nasibmu ikan ikan kecil dalam kolam kotor ini. Apakah kalian merasa kekesalan yang mencuat pada pengkonstruksi kampus yang hanya menjadikan kalian sebagai tak lebih dari sebuah hiasan dari kolam ini?
Aku tak tahu mungkin kalian tak memilik pikiran tuk sedikit berpikir tentang semua yang telah terjadi pada kalian disisa kehidupan kalian dalam kolam ini yang kotor, keruh dan berwarna hijau ini. Namun kutahu bahwa kalian ini wahai ikan ikan kecil makhluk ciptaan Tuhan yang pasti memiliki rasa. Rasa tuk bebas seperti ikan ikan kecil dalam film kartun Nemo.
Pandanganku teralih pada julang tinggi pohon kelapa di sekitar kolam. Hidup pohon kelapa ini tentunya sangat berbeda dengan ikan kecil dalam kola mini. Tentunya sangat berbeda.
Pohon kelapa yang menjulang tinggi ke langit disamping kolam dengan suburnya, dan ikan ikan kecil itu bagaikan narapidana yang hanya tahu mondar mandir didalam jeruji kolam kecil dan berbau dilumuri air berwarna hijau. Pohon kelapa tak mempunyai batasan untuk tumbuh tinggi menjulang keatas langit selagi pohon kelapa itu mempunya kesanggupan, mengingat pepatah kuno semakin tinggi pohon maka semakin kencang angin yang sewaktu waktu mampuh mengoyahkan hingga tumbang menyatu dengan tanah.sangat berbeda dengan kalian wahai ikan ikan kecil bisikku pada mereka dengan haru, kalian hanya mampu berenang kesana kemari didalam sebuah kolam kecil yang tak tahu secara jelas berdiameter berapa… hmmm, yang jelas kecil.
Begitu kecil dan sempitnya ruang lingkup hidupmu wahai ikan ikan kecil yang malang. Inikah salah satu bentuk nyata dari kenaifan sifat dasar manusia? Padahal, daratan sebagai tempat hidup manusia di dunia ini lebih kecil dari tempat seharusnya kalian hidup wahai ikan ikan kecil yang terkekang tak bebas dalam kolam kecil ini, yah tempatmu di air yang lebih besar dan luas wilayahnya di dunia ini daripada daratan tempat manusia berkembang biak.
Hujan itu air yang jatuh dari langit dan di daratan pun tak keluar dari ruang terjang sang hujan, bahkan lautan dan samudera pun di bawah kuasa hujan tuk mengetuk bumi dengan badai dan sekali kali angin kencang dimana tempat seharusnya kalian ikan ikan kecil bisa lebih bebas berenang mengelilingi dunia. Tahu kah kalian ikan kecil bahwa kalian hidup dari air yang datang dari langit, yah dari langit!
Kenyataan berkehendak lain terhadap bumi manusia dikarenakan air yang seharusnya tempat hidupmu ikan ikan kecil, gara gara air yang jatuh dari langit atau hujan.
Air hujan yang membuat tanah tempat manusia bermukim menjadi lembek hingga akhirnya longsor, air bah dari sungai yang meluap hingga kedaratan menghilangkan tak hanya pemukiman tempat manusia hidup namun bahkan hingga nyawa tak terelakkan di lenyapkan oleh air. Bahkan yang masih melekat dalam ingatan manusia mengenai kedahsyatan air lewat ombak besar bernama tsunami melayangkan secara sporadis nyawa ribuan manusia. Dan sejarah pun mencatat mendetil kedahsyatan dari air tempat kalian ikan ikan kecil seharusnya hidup, bukan di kolam yang tak jelas warna airnya dan begitu kotornya di depan mataku ini. Dan semestinya dengan jelas kalian ikan ikan kecil tak layak tinggal di tempat seperti ini melainkan koloni kuman kuman dan bakteri bahkan cacing cacing pemakan kotoran yang layak bermukin ditempat seperti ini.
Air tempatmu hidup ikan ikan kecil tempat kalian bernafas melalui insang, begitu pun manusia hidup di bumi ini membutuhkan udara. Bagaimana mungkin ikan ikan kecil itu dapat bernafas melalui insang dengan air yang tak lagi bersih, begitu pun dengan manusia di bumi ini yang tentunya tak bisa bernafas lega dengan banyaknya polusi.
Seandainya manusia punya sedikit saja kepekaan rasa untuk bisa sedikit peduli merasakan kehidupanmu di air keruh nan kotor ini sebagai sesama mahkluk hidup di bumi ini. Meskipun hanya lewat tulisan.
Kolam kampus, 13 June 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)