Sunday, July 12, 2009
Senandung Jelang Malam
Langit seakan meredup ditelan rombongan gelap malam malam yang diutus oleh sang rembulan. Dinginnya angin meniup sepoi menghantarkan bau tentang kehidupan yang seakan meninggalkan pluh keringat membekas karena sengatan mentari yang nampak begitu teriknya siang tadi.
Dua gelas kopi hitam pekat menemani sepanjang hariku menyendiri dalam keramaian kantin dan nampak begitu tak menghiraukan hiruk pikuk mahasiswa lainnya yang sedang terkejar oleh padatnya aktivitas, sedari pagi menjelang sore membaca buku cerita pendek berjudul "Mata Yang Indah", saat membacanya ku pun teringat pada seseorang.
Nampak olehku beberapa mahasiswa dengan ekspressi yang menurutku berlebihan dengan deheman lirih dan gelak tawa membahana sedang bercerita tentang sesuatu yang tak kumengerti, pula untuk apa ku ambil pusing tuk mengutil pembicaraan orang lain. Biarkanlah mereka melakukan yang mereka bisa dan moga itu bermanfaat.
Jelang malam hari, dengan lagi lagi segelas kopi dan sebatang rokok ku mulai berpikir tentang apa yang seharusnya dilakukan tuk membuat hari nampak tak membosankan dengan ribuan aktigitas yang jika dijabarkan tak cukup waktu dan kata tuk mengungkapkannya. Maka kusimpulkan tak usah hari dan waktu itu dipikirkan. Namun, cukup dirasakan dan diluapkan dengan kemampuan dan didasari pada rencana dan kesanggupan tuk bertanggung jawab. Ironi dan absurd memang jikalau karunia akal tak dipergunakan tuk membuat kehidupan jadi lebih baik, dengan rencana matang tuk menggapai impian menjadi nyata butuh modal pikiran yang benar benar terlatih.
"Halah, pikiran kan membuat semuanya nampak membosankan bung" sapa spontan sisi lain dalam diriku.
"Bagaimana kamu mengatakan hal demikian, kamu kira dengan perasaan saja bisa menghasilkan kebahagiaan?" tanyaku padanya.
"Lantas apa kamu berpikir dan bertindak tanpa harus memikirkannya terlebih dahulu?" sangkal sisiku yang lain lagi sembari mengusap dagunya.
"Huh, kok pikiranku jadi kacau begini, kamu lagi datang dengan tiba tiba saja mengerocos. Aku bertindak tentunya menerka perasaan apa yang bakal ditimbulkan jika aku melakukannya. Itu saja, selebihnya mungkin saja kadang kuberpikir sekehendakku, namun itupun hasil dari perpaduan antara pendapat dari hati dan pikiranku." membuat mereka berdua diam karena ada jawaban 'aku' disana.
"Sungguh rumit kau kawan menjelaskan perjalanan hidupmu." seseorang yang lain datang dari sisi yang lain dalam hidupku, dan kuberi nama dia Realitas.
"Hey kau Realitas, kau datang ketika kubutuhkan saja, dan juga ku tak terlalu membutuhkanmu, kau tak berperasaan." tanyaku pada realitas dengan nada sinis.
"Hahaha" gelak tawa dari Realitas "okelah kalau begitu kawan" lantas pergi dengan lenggakan tangan dipinggang dan tawa yang membuat otakku terus berpikir keras tentang apa yang sedang direncanakan si Realitas itu.
"Ku berpegang pada yang benar benar saja yang lainnya mungkin saja dengan kekuranganku yang selalu berbuat salah yang membuatku khilaf"
"Oh yah????" si bandel dari diriku yang lain meneriakiku dari luar dinding keterbatasan dalam hidupku, kuberi dia nama Materi.
"Tentu saja aku bisa melakukannya bung Materi... Lihat saja nanti, ku takkan berpaling padamu, dan kau yang kan selalu mengikuti jejak langkahku..." jawabku spontan.
Malam ini semakin tak menetu buat pikiran dan perasaanku, nampaknya suasana malam kan memberikan sedikit pencerahan. Suasana malam tunggulah kedatanganku sebentar lagi, ku ingin tidur dalam pelukanmu, dan membutuhkan ciuman manis darimu hingga pagi nanti menjelang membuyarkan selimut kasihmu hingga kita berjumpa lagi tuk menikmati hidup dengan segala hiasan berlian kebohongan, dan sinar intan kemunafikan, dalam ruangan kenaifan tuk menerima apa adanya.
Walekumsalam...
Wednesday, July 01, 2009
Kalau Kamu Rembulan, Aku Bintang
Kemarin perasaanku telah kuungkap padamu. Ku tak bermaksud tuk menerima jawaban “iya” darimu, ataupun yang lebih buruk jawaban “tidak” darimu. Bukan berarti ku tak butuhkan jawabannya! Namun, dirimu telah menjadi bagian dari sejarah perasaanku saja itu sudah cukup. Karena dirimu mengajariku secara tak langsung sebuah kata tentang “cinta”.
Kemarin lega sudah kecamuk antar urat saraf pikiranku yang selalu mengiangkan dirimu menyanyi merdu tentang namamu. Hanya ada satu perasaan yang kurasakan kali ini, yaitu perasaan yang mungkin terasa sukar tuk ungkapkan dengan kata kata. Yaitu, bahagia bisa merasakan lalu mengungkapkan, walau belum secara langsung.
Sometimes I feel
Like I am drunk behind the wheel
The wheel of possibility
However it may roll
Give it a spin
See if you can somehow factor in
You know there's always more than one way
To say exactly what you mean to say
Perlahan alunan lagu ini menemaniku mengingat ingat tentang senyumanmu. Seakan silih berganti raut wajahmu saling bergantian mengisi kekosongan dalam pikiranku. Ough, nampak jelas dirimu disana sedang dengan ekspresi serius tuk mencerna satu persatu kata kata konyol yang sedang kuceritakan padamu, lalu tiba tiba tawa renyah pun mengalun disusul ekspressi mikir ala Socrates memegang dagu menanggapi ceritaku. Selesai ku bercerita. Secara spontan, kamu mengambil alih pembicaraan tentang cerita masa kecilmu. Dan sungguh luar biasanya cerita masa kecilmu dengan penuh manja, dan kutanggapi dengan senyuman sembari mengatakan “sepertinya sampai sekarang pun begitu…” Dan ekpresi cemberut pun kamu keluarkan dengan satu tangan dengan cepatnya menjitak kepalaku.
Kuingin, tak ada satu hal pun berubah dari dirimu.
Dengan kebodohanku mengungkapkan perasaan “cintaku” padamu.
Karena…
Kalau kamu jadi rembulan, maka aku kan jadi bintang…
Disaat sang gelap gulita malam menjelang dengan menyelimuti hangat sang rembulan, maka dengan mengendap endap sang bintang pun datang tanpa undangan dari sang rembulan tuk menemaninya, begitupun sang gelap gulita malam yang sebelumnya tak pernah kenal dengan sang bintang. Walau kekuasaan sang gelap gulita malam dengan mampu memiliki sang rembulan, tetap saja sang bintang setia ada di dekatnya. Hanya sekedar tuk ada didekatnya tanpa memerdulikan acuh dari sang rembulan! Walau sang rembulan memang tak bisa berbuat apa apa tuk melepaskan cengkraman mesra nan melankolis sang gelap malam, dan sang bintang hanya bisa diam dengan harap harap cemas tuk sedikitpun berharap tuk digubris oleh sang rembulan. Minimal berikan sedikit senyuman tanda keberadaan sang bintang saja sudah cukup teriak batin sang bintang.
Ketika waktu itu sang gelap gulita malam datang menjemput sang rembulan tuk berdua saja tanpa adanya sang bintang yang dianggap oleh sang gelap gulita malam sebagai pengganggu. Tetap saja sang bintang terus mengendap endap setia berada di dekat sang rembulan. Kata sang bintang hanya ingin menjaga sang rembulan saja. Meski sempat sang bintang merasa cemburu ketika sang gelap gulita malam datang menjemput sang rembulan pada saat sang bintang hendak memberikan sebuah kado ulang tahun sang rembulan yang telah disiapkan beberapa hari yang lalu. Dan sang rembulan memang tak bisa menolak keanggunan dan pesona dari gelap malam yang sangat berbeda tentunya bila dibandingkan dengan redup redup sang bintang. Dan berlalulah sang rembulan didepan mata sang bintang yang cemburu. Didalam kado itu sebenarnya ada sedikit ungkapan perasaan sang bintang untuk sang rembulan, yang mungkin saja takkan dipedulikan oleh sang rembulan.
Namun, dari situ sang bintang belajar tuk bisa menerima apapun yang terjadi. Begitupun jika sang rembulan memang lebih memilih sang gelap gulita malam dari pada dirinya. Asalkan tetap sedia bersinar walau redup redup dan penuh rasa tanpa pamrih berada dekat sang rembulan saja sudah cukup.
Kebahagiaan dari sang bintang adalah berada dekat sang rembulan.
Begitu pun diriku kala dekat denganmu, bahagia, itulah yang kurasakan. Apalagi dengan ditambah senyumanmu. Terasa komplit sudah. Dan tentu saja tak menutup kemungkinan rasa naïf-ku menginginkan yang lebih dari hanya sekedar itu saja.
At your side… doesn’t need to worry… possibilities of happiness is real…
Walekumsalam...