Kau datang
kesini, bercerita bahwa hidup tak selamanya linier dan hati tak selamanya
tersier, padahal kau tak pernah mau tahu arti dari hidup, juga arti dari cinta.
Kau dengan bangganya berkata bahwa hidup cukup dibawa santai dan tak usah
terlalu dipikirkan. Aku terdiam mendengarkanmu bercerita, walau beribu
penolakan dalam hati ini hendak berteriak, aku tetap diam, entah mengapa, aku
hanya ingin mendengarkanmu bercerita, melihat ekspresi kekesalan yang tetap
dianulir dengan senyuman terpancar mantap dari wajahmu ketika bercerita. Kau
bilang waktu terus berjalan, sesekali berbalik belakang dan mempelajari
kesalahan, tiap langkah itu kesalahan, apalagi kita masih muda, tiap kesalahan
butuh perbaikan dan jika masa muda adalah tempat berbuat kesalahan maka masa
tua atau masa dewasa adalah kebalikan dari masa muda. Kira kira begitulah kau
bertesis tentang kehidupan, tentang metafora menjadi manusia yang benar benar
manusia, tak hanya manusia yang berakal namun tak pernah menggunakan akal
secara maksimal, manusia yang
berperasaan dan tahu benar menggunakan perasaannya.
Kau mencoba
banyak hal yang kamu sukai, kau tahu bahwa kau akan gagal dan gagal, tapi kau
tetap tidak peduli dan terus melangkah dengan kegagalan lainnya. Aku senang melihat
kau seperti itu.
“bagaimana
dengan pikiran dan perasaanmu lewat goresan pensil dan penamu diatas kertas
itu? Apa kiranya maksud dari semua itu?” tanyamu waktu melihat aku sedang
menggambar.
“kehidupanku ada
diatas tiap goresan pena dan pensil ini, aku coba menyerapi semua hal yang ada
lewat menggambar” jawabku sekenanya.
“menurutmu apa
itu kehidupan?”
“tak tahu. Kalau
menurutmu apa itu kehidupan?”
“kehidupan itu
hujan, datang bergerombol dari kegelapan, jatuh ke bumi dan memberikan
kehidupan pada tiap hal yang terkena airnya. Kira kira seperti itulah.”
“kalau
di musim kemarau seperti ini bagaimana?”
“gampang,
bukannya kau tahu bahwa dari 100 persen dari pikiran manusia harusnya 98 persen
imajinasi dan 2 persen ilmu pengetahuan? Iya kan? Jadi tinggal membuat hujan
imajiner saja. Hidup tak usah dibuat susah, dipermudah dengan permainan pikiran
saja, sedikit senyuman, dan anggap saja semua masih baik baik saja.”
“oh begitu…”
jawabku sambil tak berhenti menikmati ekspresi dari wajahnya yang polos dan
tanpa dosa, tapi sepertinya memang dia jauh dari dosa karena dapat dilihat dari
pakaiannya dan segala macam hal yang melekat ditubuhnya menandakan dia seorang
hamba Tuhan.
Jombor, 20 Oktober 2012,
07:35