Saturday, February 18, 2012

Merangkak di Teras Pagi

Malaikat pun menari nari di ujung cahaya mentari pagi yang hendak bersinar, membagi hangat pada bumi dan makhluk hidup lainnya. Sinarnya redup dari kejauhan, perlahan namun pasti, hingga nanti ketika telah muncul seutuhnya maka jangankan hendak dipandang mata, dirasa oleh tubuh pun enggan, panas tak memiliki banyak kawan. Burung burung saling beradu dalam nyanyian menyambut pagi datang, bunga bunga dan pepohonan terbangun dengan perasaan malu karena telah dibuai mesra oleh sang embun, kendaraan mulai berpacu berburu dengan waktu, manusia sibuk sibuk dan sibuk, mencari sesuap nasi untuk dapat tersenyum kenyang keesokan harinya. Seperti robot yang telah di program, semua yang nampak di depan mata terjadi sesuai dengan perkiraan, anak anak kecil tanpa dosa berlarian menuju sekolah, entah mereka bahagia karena hendak mendapatkan ilmu yang nanti ketika dewasa dapat digunakan untuk membantu orang lain, atau hanya karena dapat merasakan hidup yang ditanggung oleh diri sendiri di sekolahan, tanpa orang tua yang selalu saja melarang apa yang menjadi kesenangan oleh si anak kecil. Mereka berlari mencari kesenangan, mendengarkan guru berbicara sesuatu yang sama sekali mereka tak mengerti, tidak seperti di sekolahan orang yang telah dianggap dewasa, mereka mendengarkan apa yang mereka mengerti namun sayangnya mereka tak mau tahu akan hal itu, mereka hanya ingin mendengarkan agar si guru yang melihat mereka mendengarkan dapat berkasihan memberi si pendengar perhatian lebih lewat penilaian. Apalah itu nilai? Apalah itu ijazah dan tanda kelulusan? Sebagai kebanggaan pada diri sendiri kah atau hanya untuk membuat orang tua yang membesarkan kita bisa merasa bangga dan bahagia memiliki anak seperti itu! Lantas jika dipertanyakan mengenai kepintaran untuk apakah gunanya? Kepintaran dari kata pintar yang berarti dapat berguna untuk orang lain, dapat memudahkan kesusahan, dapat menyelesaikan yang tak terselesaikan, dapat membantu orang yang membutuhkan pertolongan, pokoknya dapat berbuat sesuatu pada orang lain, dan orang lain dapat berbahagia dengan pertolongan anda. Sama seperti menjadi berguna pada orang tua dengan menjadi anak yang rajin ke sekolah untuk menuntut ilmu, walau ilmu yang diserap disana tak ada satu pun yang dapat masuk ke otak, walau ilmu yang diajarkan disana tak memberikan rasa ingin tahu yang berlebihan pada diri sendiri, tapi untuk orang tua dan tanpa memperdulikan diri sendiri maka tetap saja dijalankan. Terserah, hidup toh hanya sekedar pilihan, dipilih hendak menjadi seperti apa dan kemudian dijalani. Masalah tidak menyenangkan dan menyenangkan dapat diatur, seperti berpura pura saja, toh yang melihat kebahagiaan itu ada kan orang lain, diri sendiri hanya bisa mengelus elus dada lantas bersabar dan bersabar hingga masa tua datang membawa begitu banyak penyesalan. Mengapa saya melakukan ini dan itu padahal saya tidak menginginkannya, mengapa saya disini dan disana padaha saya tak menginginkannya, mengapa dan mengapa diiringi penyesalan yang berkepanjangan, membuat kerutan diwajah semakin bertambah banyak dengan keluhan.

“Matahari sudah sedikit memunculkan kepalanya, cahanya sudah semakin terang, sekitaran sudah nampak jelas, jalan yang basah oleh embun dan hujan bekas semalam. Kini kemana lagi akan pergi pikiran ini, tak ingin diam, tak ingin berhenti untuk mengumbar kata kata, terlalu berisik bisik bisik itu…” kupu kupu lewat membawa cerita ini dari negeri seberang tentang seseorang yang kini hanya tertinggal menjadi tak lebih dari sebuah kenangan, dahulunya di elu elukan dan dibanggakan oleh hampir semua orang yang mengenalnya, namun ketika mati berkalang tanah, dia pun di lupakan walau kadang terlintas lewas sekilas dalam ceritaan.

“Sebentar lagi saya menjadi gila, walau sekarang sudah dipanggil gila, ah apa kau pernah mendengar tentang Newton yang dianggap gila oleh gurunya karena sama sekali tak tertarik dengan pelajaran yang diberikan di sekolahan? Atau mungkin mendengar tentang cerita mengenai Sokrates yang dianggap gila oleh kebanyakan orang yang hidup dimasanya hanya karena dia selalu saja bertingkah berbeda dari orang orang kebanyakan, mengenai si Nietzche, Albert Camus, Voltaire, dan banyak lagi lainnya, mereka orang gila yang sangat menikmati menjadi gila, anehnya mereka justru menjadi terkenal dan menjadi sumber inspirasi karena kegilaannya…” si kecoak yang selalu merasa kalau hidup itu tak lebih dari sekedar tempat sampah, mencibir dan mengatakan tidak suka pada hampir semua hal, tapi diam diam lewat mengendap selalu hadir dengan senyuman seolah dia tak pernah berkata tidak untuk semua hal. Ketika tempat sampah atau rumahnya tengah penuh penuhnya sampah, maka kawan kawannya pun datang; cacing, tikus, anjing, kucing, dan lain lain datang hendak mendapat bagian, selesai mereka dapat bagian, mereka pun pergi dan tak kunjung kembali hingga sampah rumah kecoak kembali penuh, kecoak itu hidup seorang diri, dan kawan tak lebih dari sekedar bayang ilusi, tak pernah dan tak akan menjadi nyata walau sesaat.

Di sebuah lorong waktu saya menulis ini…

Armstrong da Jimmy (si anjing yang senang mendongeng)

24 January 2012, 04:05am

No comments: