Menunggu... selalu saja ramai diikuti iring iringan kata terlambat dan selalu menyebalkan menggoyangkan ekornya di akhir jejak tiap langkahnya...
Waktu... kadang bahkan tak jarang kata acuh kudendangkan seakan mengejek berupa kata acuh ke daun kupingmu, dan kau tanggap dengan palingan wajah sembari kedua tangan kau lekatkan dengan ekspresi yang begitu angkuhnya...
Senyumku... melepaskan seolah rela dirimu yang telah berlalu tanpa seutas senyuman khasmu yang kau berikan gratis kemarin kemarin, dan diriku bagaikan sehabis menuntaskan sebuah karya diatas kanvas seolah hati tak apa apa karnanya...
Senyummu... Ohw dikau yang telah pergi jauh bersama orang yang telah mendahuluiku menggenggap tanganmu begitu eratnya di depan mataku sore itu, seperti malam yang datang memeluk sang rembulan saat bintang bintang menari ria saat mentari tidur dengan nyenyaknya...
Suaraku... Hanya mampu kulukiskan di atas seutas kertas tanpa ada manipulasi kebohongan yang mungkin terdengar begitu melangkolisnya...
Tulisanku... Sebaris tak sadar menjadi lembar, hingga begitu banyaknya kubercerita tentangmu dan tentangmu tanpa ada sedikit campur tangan dari mulutku, hingga kumenyadari kau telah memilih seseorang mungkin dikarenakan dirimu terlalu lama menungguku mengungkapkannya hingga seakan dalam mimpi kumelayang tinggi nan jauh dan terjerembab dalam ruang labirin waktu yang mungkin takkan ada habisnya...
Waktu... seutas senyuman untukmu sebelum dan sesudahnya, anggaplah aku terlalu naif tak mau dikalahkan olehmu, aku kan menjadikan dirinya seperti dinding tembok bercat putih dan diriku mungkin rela menjadi seekor cicak yang terus diam tanpa suara melangkah perlahan meninggalkan penuh jejak langkahku disana hingga tanpa ada sangkut paut mulutku berbicara sepatahpun tanpa ada sangkut paut olehmu waktu kelak di dinding hatinya...
Waktu... kadang bahkan tak jarang kata acuh kudendangkan seakan mengejek berupa kata acuh ke daun kupingmu, dan kau tanggap dengan palingan wajah sembari kedua tangan kau lekatkan dengan ekspresi yang begitu angkuhnya...
Senyumku... melepaskan seolah rela dirimu yang telah berlalu tanpa seutas senyuman khasmu yang kau berikan gratis kemarin kemarin, dan diriku bagaikan sehabis menuntaskan sebuah karya diatas kanvas seolah hati tak apa apa karnanya...
Senyummu... Ohw dikau yang telah pergi jauh bersama orang yang telah mendahuluiku menggenggap tanganmu begitu eratnya di depan mataku sore itu, seperti malam yang datang memeluk sang rembulan saat bintang bintang menari ria saat mentari tidur dengan nyenyaknya...
Suaraku... Hanya mampu kulukiskan di atas seutas kertas tanpa ada manipulasi kebohongan yang mungkin terdengar begitu melangkolisnya...
Tulisanku... Sebaris tak sadar menjadi lembar, hingga begitu banyaknya kubercerita tentangmu dan tentangmu tanpa ada sedikit campur tangan dari mulutku, hingga kumenyadari kau telah memilih seseorang mungkin dikarenakan dirimu terlalu lama menungguku mengungkapkannya hingga seakan dalam mimpi kumelayang tinggi nan jauh dan terjerembab dalam ruang labirin waktu yang mungkin takkan ada habisnya...
Waktu... seutas senyuman untukmu sebelum dan sesudahnya, anggaplah aku terlalu naif tak mau dikalahkan olehmu, aku kan menjadikan dirinya seperti dinding tembok bercat putih dan diriku mungkin rela menjadi seekor cicak yang terus diam tanpa suara melangkah perlahan meninggalkan penuh jejak langkahku disana hingga tanpa ada sangkut paut mulutku berbicara sepatahpun tanpa ada sangkut paut olehmu waktu kelak di dinding hatinya...
Djendelo, The Armstrong
Walekumsalam...