Tuesday, April 14, 2009

SeSedikit Kisah Tentang Kawanku Seorang Demonstran

Asalamulekum...

Langit pun terlihat begitu terik hari ini, tak ada lagi alunan musim semi yang dahulu membuyarkan pandangan dengan jejatuhan lembar lembar dedaunan yang senantiasa menari nari tertiup angin didepan pengarangan rumahku. Hamparan jalanan tersengat panas hingga terliat mengepul berasap. Terlihat pula seorang anak kecil tetangga sebelah rumah yang sepulang dari sekolah dasar tampak bermuka lesuh dan begitu tak bersemangatnya menelusuri tiap langkah pada siang hari ini…

30 menit pun berlalu, terik mentari pagi yang sewaktu pertama kali menampakkan wujudnya di selah selah rimbunnya pegunungan membawa semangat tuk segera memulai aktifitas dan nyanyian merdu sang burung nuri menyambutnya sembari menari nari menampakkan bahwa hari ini akan baik baik saja… namun kenyataannya itulah mula dari terik panas yang tak karuan hari ini…

Selayaknya kue yang pada awal mula meraciknya dari berbagai macam bahan menimbulkan bau yang sangat mengundang penasaran indera hidung tuk kembang kempis menikmatinya, hingga bahan bahan dari gula, terigu, cream, susu, keju, coklat, dan sebagainya yang pertamanya sudah diracik hingga menghasilkan setalang adonan yang menyatukan berbagai macam bau harum dari bahan bahannya. Karena kita tak pernah tahu rasa dari setalang adonan sebelum menjadi sepiring kue yang telah matang. Pula benak hanya bisa memprediksi akan rasa yang akan dihasilkan nantinya.

Begitulah hari ini, ketika perasaan menyatakan hari ini akan baik baik saja. Namun mentari sangat menyengat menyiksa otak kewalahan menghadapinya.

Perlahan mulai kubaringkan diriku di sebuah kursi kayu tua dari bambu di peron rumah. Menikmati semilir angin yang terasa memaksa pohon tuk bergoyang goyang membelai pemandangan terik mentari. Bisikan dari sepasang headset yang mengalunkan dentingan gitar akustik dari Fast Ball perlahan melayangkan benakku ikut bernyanyi sembari memejamkan mata…

Sometimes I feel, Like I am drunk behind the wheel
The wheel of possibility, However it may roll

Give it a spin, See if you can somehow factor in
You know there's always more than one way, To say exactly what you mean to say

Sementara telingaku menyimak dengan khusuknya lagu tersebut, hingga lengkingan kucing yang terlindas motor didepan rumahmu tak ku gubris, hanya lirikan mataku yang terbuka sebentar lalu dengan sendirinya tertutup lagi ketika kudapati si kucingnya ternyata tidak mati dan hanya berlari dengan sedikit gontai menuju ke balik pagar rumah orang yang berada di depan rumahku. Huh… apa benar kata orang orang dahulu kala jikalau kucing itu memiliki 9 nyawa? Ngapain juga kupikirkan…

Kuteringat pada seseorang di depan rumah yang dimasuki oleh seekor kucing tadi yang tak mati ditabrak mobil kijang keluaran tahun 90an.

Dia adalah si Odeng, namanya entah dari mana dan kapan dia mulanya bernama yang aneh di dengarkan dan di ucapkan itu. Dia seorang yang sangat peduli akan perkembangan negara Indonesia pada saat ini terutama akan kebijakan kebijakan pemerintah terhadap rakyat, perkembangan masyarakat golongan menengah kebawah seperti pemulung, pengemis, dan gelandangan jalanan lainnya, dan dia bertekad dalam dirinya untuk hendak mempertahankan dan memperjuangkan semua itu walau harus berkorban. Dan salah satu bentuk pengorbanannya adalah menjadi pendemo, malah menjadi pemimpin demo dalam berbagai macam aksi yang dia galang bersama kawan kawannya, walaupun kata demo tak pernah terbesit dipikiranku untuk ikut serta didalamnya, dan pastinya bukan dikarenakan aku acuh dan tak peduli akan rakyat! Namun dikarenakan “apa sudah tak ada jalan lain lagi selain turun ke jalan raya melakukan aksi yang dimana bisa berakibat yang jauh dari pikiranku dan keinginanku tuk melakukannya yaitu mengganggu orang lain”.

Demo menurutku adalah salah satu aksi yang beratas nama memperjuangkan keselewengan pemerintah terhadap rakyatnya, dan ini sangat aku dukung, namun bukan dengan cara turun kejalan sambil ber-orasi, namun lewat tulisan yang kutahu masih belum mampu tuk menulis yang baik. Aku tak melarang ataupun tak mendukung aksi mereka para pendemo, namun menurutku itu kesia siaan belaka. “bagaimana mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan jikalau pemerintah tak mau menggubris mereka”. Iya ini merupakan usaha tuk bisa didengarkan oleh para wakil rakyat tapi apakah mereka bisa memimikirkan dampak dari semuanya? Dimulai dari tidak digubrisnya mereka oleh pemerintah, bentrok dengan aparat polisi, menghambat lalu lintas, dan tahukah mereka yang melaju di lalu lintas itu rakyat juga? Dimana ada yang sedang terpacu oleh waktu dikarekan aktifitas ataupun sesuatu yang berbau gawat darurat! Huh what I can say…

Lanjut kecerita kawan yang rumahnya berada di sebrang jalan depan rumahku. Dia seumuran denganku, sekampus denganku di fakultas yang sama pula di salah satu kampus swasta di Jogja. Fakultas yang kami emban saat ini adalah FISIPOL. Dari namanya sudah terbayang akan rumitnya mata kuliah yang di pelajari disana, dan fakultas ini tak pernah habis habisnya membahas akan kata Politik. Politik dan politik.

Dia cukup akrab denganku. Apalagi dalam hal cerita bercerita seputar sastra dan filsafat. Yah aku sangat suka dengan sastra dan filsafat, begitu pun dirinya. Dan ini yang kusukai dari dia saat bercerita, disamping dia pendengar baik dengan jiwa social yang tinggi, juga seorang yang kerjanya membaca dan membaca di kantin kampus hingga dijuluki kutu buku oleh teman teman yang lain. Disamping koleksi buku bukunya yang banyak, dia juga sering memberiku referensi mengenai novel novel yang didalamnya banyak mengandung unsure “humanism” salah satu ideologi faforitku. Hehehe memang berat jikalau ingin dipikirkan namun jika dicoba tuk mencintai segala macam sesuatu maka hidup akan tambah terasa indahnya dan hidup akan selalu merasakan damai.

Malam kian terasa cepat berlalu dan pagi pun serasa tak sabar lagi menampakkan birunya langit dikala ngantuk dan malas merajalela dalam benak, seakan memaksakan kehendak tuk segera memulai aktifitas. Desember bulan ini, musim hujan tak begitu terasa. Dedaunan nampak masih bertahan bertengger dengan rapinya didahan dahan, ranting pun seakan mengikuti alur angin bergoyang goyang ke kiri dan ke kanan. Tak terasa sudah dua bulan kabar seorang kawan yang tinggal di depan rumahku, teman sekampusku, teman berceritaku sudah tak lagi terngiang dan menjadi pokok pembicaraan di kalangan mahasiswa dan Koran Koran local. Yah, kawanku seorang demonstran sejati yang siap berjuang melawan teriknya mentari, berteriak melalui toa hingga urat urat lehernya pun kelihatan, kawan yang selalu setia mendengarkan tiap cerita kawan kawannya yang lain. Kawanku telah terjebak dalam tanah, menuju ke kehidupan berikutnya. Di alam kematian.

Kejadiannya begitu cepat, suaranya tawanya yang ramah selalu menemani saat saat diskusi seputar apa saja yang diadakan di kantin kampus. Kini tak ada lagi, serasa berkabung kantin di tinggalkannya, hanya dikarenakan oleh sebuah batu kecil sebesar kepalan manusia yang terinjak laju ban mobil yang kalang kabut kala dia hendak berjalan jalan kaki sekedar tuk menikmati indahnya sore hari di sekitar jalan depan rumah.

Darah segar pun bercucur dengan derasnya kala itu, menutupi seperempat zebra cross jalan, yang putih menajdi merah darah, yang hitam semakin memperdalam warnanya, siapa pun yang melihatnya akan miris menahan mual dikarenakan sebagian otaknya pun tercecer saat batu itu mendarat tepat mengenai batok kepala bagian belakangnya. Tepat di bagian otak kecilnya hingga di terjerembab jatuh, terkulai tak berdaya hingga kumunan orang orang pun mengelilinginya dengan mimik tangan menutupi sebahagian wajah dan mengintip di selah selah jemari mereka.

Dan aku yang waktu itu melihat kejadian itu secara langsung tak bisa melupakannya kejadian ini hingga 3 tahun berikutnya baru mulai sedikit merasa paranoid akan kejadian yang menimpa kawanku itu bisa berkurang efeknya.

Segera ambulance datang menggotong mayatnya tuk segera di periksa dan segera melakukan pertolongan yang menurut mereka semaksimal mungkin, walaupun secara kasat mata kemustahilan itu sudah tampak adanya sebuah kehidupan.

Dia telah pergi tuk selamanya.

Kawanku.



Walekumsalam...

No comments: