35 tahun lamanya kumeratapi penyesalanku akan kenangan yang mendalam, duduk bersimpuh di sebuah kursi rotan tua lusuh sembari menyulam. Kadang kumenanti sesuatu yang telah hilang, sesuatu yang telah pergi untuk selama lamanya. Kini kuhanya bisa melewati hari hari dalam kesepian, kesepian dalam penantian yang tak kunjung berujung. Disini, dikursi rotan ini 35 tahun yang lalu seorang lelaki bernama Karnaen telah menyatakan cintanya padaku. Namun keterkejutanku dalam haru bahagia membuatku tak dapat berucap kata, kegugupan membuatku kalut hingga kuberlari masuk kedalam kamar dan menguncinya, kututup mukaku dengan kedua tangan, kedua pipiku memerah dan kutahan rasa gregetan mendalam dalam hatiku yang entah datangnya dari mana. Cukup lama kutahan haru bercampur bahagia ini didalam kamar, dikarenakan perasaan Karnaen padaku ternyata sama seperti halnya yang kurasakan. Hingga kutersadar saat Karnaen memanggil manggil namaku di luar rumah dekat kursi rotan tua itu. Ku tak tahu apa yang musti keperbuat, bibirku serasa terkunci rapat dan kuncinya menghilang entah kemana, ragaku memaksa kakiku tuk berpijak menghampiri Karnaen namun kurasa aku lumpuh. Ku hanya terduduk beku tanpa kata dan tak tahu hendak berbuat apa mendengarkan teriak kata cinta Karnaen di luar rumah. Debaran dalam dadaku yang entah apa namanya, serasa menyesakkan.
Namaku Ning, usiaku kini menginjak 53 tahun, cukup tua usiaku tanpa pendamping, tanpa seseorang yang mengharuskanku bahagia memasakkan makanan untuk pasanganku, memasak makanan paling lezat yang pernah dibuat. Hanya untuk dirinya. Karnaen.
Perang itu membawa Karnaen menuju alam keabadian, tempat dia menungguku hingga kami nantinya kan dipersatukan kembali disana. Namun mengapa dia pergi begitu cepat, begitu cepat hingga tak sempat memboyongku menuju pelaminan, bersanding berdua diatas ikatan suci nan abadi. “Ah ini semuanya karena diriku, yang tak dapat bersua kata waktu itu…” keluh batinku, sembari kutangisi kenangan itu. Seolah kenangan itu bercakap dengan batinku.
“Itulah kenangan wahai gadis pemalu, engkau akan merindukan kala itu saat telah lama berlalu…”
“Namun mengapa dia tak mengerti rona bahagia di wajahku yang menandakan bahwa rasa yang kurasa sama halnya dengan yang dia rasa?”
“Manusia memiliki kepekaan indra yang musti dirangsang agar dapat difungsikan, saat tenggorokanmu kering maka dengan siaga tangan dan mulutmu akan berkerjasama tuk menengguk air agak dahaga itu cepat berlalu…”
“Aku rasa penjelasanku terlalu bertele tele dan aku tak mengerti sama sekali!”
“Apakah cukup keindahan hanya di puji oleh mata? Ataukah kelezatan makanan hanya dinikmati oleh mulut?” ratap kenangan
“Yah, aku yang salah ketika aku dan Karnaen bertemu ketika aku dan teman temanku sedang dalam perjalanan menuju ke sekolah dan dia menghampiriku dan mengatakan apa jawabanku ketika dia mengatakan bahwa dia mencintaiku kemarin didepan rumahku, namun tak sepatah kata pun yang aku mampu ucapkan, dan kuharap dia tak berpatah semangat dalam mencari apakah aku mencintainya juga... Dan memang aku sangat mencintainya...”
“Satu kata iya darimu dapat mengubah semuanya dan tak melemparkanmu dalam penyesalan yang berkepanjangan selama ini...” akhir kata dari kenangan
Kata terakhir dari kenangan membuatnya terbangun dalam lamunan, hari tua itu telah mengukir raut wajahnya yang tak lagi muda. Kini tinggal kenangan yang tertulis dan terngiang dalam ingatan yang tersebar lewat cerita ke cerita. Cerita tentang kenangan seorang wanita pemalu...
End...
Juli 1, 2010
Inspirasi Dari: Pementasan Teater "Kenang Kenangan Seorang Wanita Pemalu" (W.S. Rendra) di LIP
No comments:
Post a Comment